Rabu, 16 Desember 2009

HENTIKAN EKSPLOITASI SENIMAN

Oleh: Jamrin Abubakar

SIAPA seniman atau pun kelompok seni di Kota Palu
atau di Sulawesi Tengah umumnya jadi ‘besar’ dan sukses
atas pembinaan lembaga kebudayaan pemerintah?
Silahkan pembaca menjawabnya.
Yang jelas dari pengamatan penulis ada beberapa seniman
dan kelompok seni memilki reputasi dan kredibilitas yang
cukup diperhitungkan di tingkat lokal dan nasional. Tetapi
apakah karena campur tangan lembaga pemerintah dimana di
dalamnya terdapat para pejabat kebudayaan yang selalu
menyusun program dan melakukan kerja birokrasi?
Entahlah kalau saya keliru menilai soal ini. Kalau pun
keliru, berarti kemungkinan para pejabat atau lembaga
kebudayaan itulah yang benar. Soalnya sepengetahuan saya
sebagai penulis, di antara para seniman yang selama ini
eksis berkarya, apakah sastrawan, koreografer/penari,
musisi/komponis/penyanyi, perupa, dramawan dan lainnya,
justru mereka ‘besar’ dan dan eksis bukan karena
keberhasilan lembaga kebudayaan selaku pembina dan
fasilitator.
Lantas kalau begitu apa kerja dan tanggungjawab para
pejabat kebudayaan selama ini? Padahal setiap tahunnya
dana yang dinggarkan untuk kegiatan kesenian-kebudayaan
mencapai ratusan juta, bahkan miliaran rupiah, terutama
bila diakumulasi untuk beberapa event tahunan ditambah
biaya menghadiri festival di Bali, Taman Mini dan
lainnya. Itu belum termasuk untuk keluar negeri.
Dari berbagai persitiwa seni budaya proyek tersebut di
satu sisi memang tidak bisa diukur dengan berapa uang yang
dihabiskan, karena secara sosial kulutural terkandung
nlai-nilai spirit sosial yang menjadi semacam investasi
kebudayaan dimana Sulteng menjadi bagian jaringan kerja
kebudayaan ityu sendiri. Soal ini tak masalah, tapi
bagaimana dengan kesejahteraan para pelaku seni atau
seniman yang terlibat dalam berbagai aktivitas yang selama
ini menjadi lokomotif dalam agenda budaya yang dilahirkan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata/
Kasihan. Seniman yang bukanlah bagian dari birokrasi
suatu lembaga pemerintah, bukan saja insentif atau
kompensasi yang diterimanya kurang pantas ketimbang
anggaran yang tersedia, tetapi terkesan sebagai alat
semata untuk mensukseskan suatu program, walaupun hal ini
tidak semuanya benar.
Bagaimana mereka yang menjadi bagian birokrasi yang tugas
pokoknya memang untuk jadi pelayan/fasilitator yang juga
sudah dapat gaji bulanan sesuai tugasnya?

Kalau seniman diberi kompensasi yang sangat layak dan
sepantasnya karena karyanya sukses ditampilkan dalam
event-event festival ala pemerintah, sangatlah wajar. Lagi
pula dalam mempresentasikan karya-karyanya tidak setiap
saat, sehingga bila bicara secara ekonomis dengan kondisi
apresiasi seni dalam masyarakat kita masih biasa-biasa
saja, maka wajarlah kalau sekali-kali pemerintah memberi
kelayakan seniman, minimal pada setiap penampilan dalam
event tahunan. Hal itu dipandang perlu agar tidak terkesan
seniman hanya jadi alat eksploitasi. Bayangkan kalau
misalnya sesaat menejalang pertunjukan di suatu event di
TMII atas nama pemerintah daerah, tiba-tiba mereka yang
dijadwalkan tampil itu mogok. Apa jadinya? Pasti yang malu
adalah pemerintah daerah juga. Semoga imajinasi demikian
tidak terjadi. Maka hentikanlah eksploitasi seniman.
Di satu sisi seniman haruslah memiliki kredibilitas, karya
yang berkualitas bisa dipertanggungjawabkan pada publik.
Bukan karya asal-asalan, tapi betul-betul hasil dari
ekploirasi yang mencerminkan latar belakang suatu tema
yang diusung.
Beberapa tahun terakhir ini di Sulteng, seniman sebetulnya
makin tertantang dengan adanya beberapa event festival ala
pemerintah. Bukan saja bagaimana seniman menjadikan
festival sebagai moment untuk menunjukkan karya-karya
orisinil, tapi juga pemerintah harus lebih banyak belajar
melihat dan mendengarkan berbagai kritikan terhadap
berbagai kegiatan festival yang digelar guna menjadi bahan
evaluasi.
Sangat ironis suatu event dilaksanakan dari tahun ke
tahun, yang diharapkan grafik kesuksesannya naik namun
malah turun. Seharusnya lebih baik setelah bertambahnya
pengalaman baik dan buruk. Itu pun kalau profesionalisme
dan keterbukaan selalu dikendepankan.
Banyaknya di daerah Sulteng sudah cukup untuk dijadikan
bahan evaluasi sekaligus media pemanfaatan dan pelibatan
seniman secara terbuka.

Kelihatannya seorang seniman yang juga birokrat di
Disbudpar Sulteng, pernah berkeinginan mau mendorong
semangat ‘keterbukaan’ dengan pelibatan seniman secara
interaktif dalam penyusunan program sampai pelibatan di
lapangan. Dia berkeinginan seniman bukan hanya tahu
beraksi di atas panggung pada hari pelaksanaan, melainkan
dilibatkan sejak awal agar lebih banyak tahu dalam proses
di belakang panggung sebagai bagian penanggungjawab.
Beberapa event yang berada di bawah naungan Disbudpar baik
tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, yaitu; Pekan
Budaya Sulawesi Tengah, Festival Danau Poso, Festival
Togian, Festival Teluk Palu, Festival Riak Donggala, Forum
Vula Dongga, dan akan entah apa lagi yang bakal
dimunculkan.
Festival yang dilaksanakan pemerintah tersebut, bukan saja
menjadi ‘impian’ sesuai yang diinginkan penyelenggara
untuk mencapai maksud dan tujuannya, tapi saatnya membawa
harapan bagi seniman daerah. Kehadiran seniman bukan lagi
pelengkap penderita dalam mewujudkan sebuah event. Mereka
adalah bagian dari penanggungjawab karya dan kerja yang
berproses.(wartawan biasa)

TIGA 'PENDEKAR' SULAWESI TERANCAM PUNAH

Monyet (Macaca Sulawesi)

Macaca Sulawesi hanya terdapat di Sulawesi. Khusus Sulawesi Tengah terdapat tiga jenis, yaitu Macaca hecki atau dalam bahasa daerah buol disebut Dige dan Bangkale dalam bahasa dondo penyebarannya mulai dari provinsi Gorontalo sampai wilayah Sindue Kabupaten Donggala, Pantai Timur Kabupaten Parigi Moutong.

Di bukit Bale Kecamatan Banawa tiga tahun lalu masih terlihat bergerombol namun saat ini dengan dibukanya areal perkantoran sehingga tidak pernah terlihat lagi. Jenis Macaca Tonkeana yang biasa disebut ceba atau ibo (Napu), boti (Poso), penyebarannya cukup banyak di Sulawesi Tengah dari batas komunitas Macaca hecki di bagian Selatan hingga kekawasan Kabupaten donggala, Kabupaten Poso, Kabupaten Banggai hingga ke sebagian wilayah Sulawesi Selatan (Palopo Utara). Hidup dalam hutan sampai ketinggian 1800 mdpl. Makanannya berupa pucuk daun, jagung, buah-buahan, umbi-umbian dan beberapa jenis serangga.

Dige memiliki ukuran tubuh lebih pendek dan kecil dari pada boti. Jenis fonti (macaca togeanuuus/balantakensis) yang hanya terdapat di Kepulauan Togean Banggai Barat (balantak). Ketiga jenis monyet tersebut termasuk dari delapan endemik Sulawesi yang mengalami keterancaman dan kepunahan yang disebabkan oleh perburuan petani yang menganggapnya pengganggu tanaman dan penyempitan habitatnya akibat penebangan hutan untuk lahan perkebunan.

Jenis macaca lain di Sulawesi yaitu Dare (Macaca maura) sebarannya di kawasan Sulsel, Monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra) sebarannya di Sulut, Dihe (Macaca nigrescens) sebarannya di Gorontalo/ Sulut, Hada (macaca ochreata) sebarannya di Sultra, endoke (Macaca brunnescens).Pedesaan monyet biasa di jadikan hewan piaraan dengan terlebih dahulu dirantai atau di kurung untuk diperjual-belikan dan sumber pedaging. Guna menjaga kelangsungan monyet khas Sulawesi, pemerintah telah mengeluarkan aturan perlindungan berdasarkan Undang-Undang no. 5 tahun 1990 diperkuat dengan aturan perlindungan sebelumnya dengan SK Menteri pertanian, tertanggal 29 januari 1970 no. 421/Kpts/um/8/1970 dan di tambah SK Menteri kehutanan, tertanggal 10 juni 1991 no.301/Kpts-II/1991.

Musang Sulawesi dikenal sangat pemberani menjelajah di waktu malam,sedang siang hari dimanfaatkan untuk tidur atau istirahat di bawah pohon yang rindang atau di tempat yang tertutup. Setiap berjalan tidak pernah bergerombol, paling hanya sepasang atau kadang sendirian. Hewan ini Merupakan satu-satunya hewan pemakan daging asli di Sulawesi yang hidup liar di tengah hutan rimba dan kadang bersembunyi di semak-semak untuk menunggu mangsa lewat. Kelebihannya mengintai dan berjalan dibalik semak-semak nyaris tak terdengar, merupakan kelihaian tersendiri dalam menyiasati calon mangsa. Musang sulawesi lebih besar dibandingkan dengan musang yang terdapat ditempat lain, sehingga dianggap musang raksasa. Terdiri dari dua jenis yang diidetifikasikan dari warna kulitnya, yaitu pertama berwarna coklat kehitam-hitaman (Macrogalidia musschenbrokii). Jenis kedua berwarna merah abu-abu (Viverra tangalunga), merupakan jenis yang umum ditemui, bukan hanya di Sulawesi, tapi juga dipulau-pulau lainnya. Selain disebut musang atau Cipet juga memiliki nama lokal sesuai bahasa daerah setempat.

Di sekitar kawasan suaka alam gunung sojol, penduduk di sana menyebutnya Cingkalung dan Hulaku bagi suku Lore di kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) Sulawesi Tengah. Dibandingkan dengan jenis Viverra tangulanga, jenis Macrogalidea musschenbroekii lebih besar dan panjang seperti anjing kampung mencapai maximal 10 kg dan panjang dari kepala sampai ekor berkisar 130 cm. Paling khas dan termasuk indemik, hampir sama dengan Kus-kus Sulawesi (Phalanger clebensis) yang juga merupakan hewan menyusui khas Sulawesi yang sekerabat beruang.

Sedang jenis Viverra tangalunga, agak kecil dan pendek yaitu sebesar kucing kampung yang dewasa, berat maksimal hanya mencapai 7 kg. Namun keduanya memiliki bentuk dan penampilan fisik mirip kucing kampung, termasuk sifatnya, suka keluar malam dan memiliki hobi memanjat pohon sekedar main-main.sehingga di masukkan sekerabat dengan kucing yang juga menyusui sebagai famili Viverridae perkembangbiakannya dengan cara melahirkan.

Bentuk susunan giginya kecil dan tajam seperti halnya gigi kucing dan memiiliki kuku atau cakar yang tajam di gunakan sebagai senjata menyerang musuh atau menangkap mangsa dan sebagai perekat saat memanjat/mencakar pohon. Pendekar pencuri ayam.

Walaupun sama-sama bisa memanjat pohon seperti kucing, tapi musang Sulawesi dalam memanjat pohon lebih akrobatik dan lincah, waktu memanjat (naik) maupun turun kepalanya tetap terlebih dahulu. Sedangkan kucing umumnya bila menuruni permukaan yang tegak, akan mengalami kesulitan. Keahliannya memanjat dan menuruni pohon dalam bentuk tegak itulah, sehingga diberi gelar hewan pendekar hutan Sulawesi.

Di sulawesi, sebarannya ditemukan (tapi sudah langka) di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), pegunungan Tokalekaju, kawasan Pantai Barat Donggala, Gunung Ambang, Gunung Rantemario Gunung Sojol dan beberapa kawasan lain. Makanannya berupa hewan kecil menyusui seperti tikus, tupai, anak babi, dan burung-burung kecil, ayam serta telur, juga makan buah-buahhan seperti pisang, dan buah palem atau buah enau (arenga pinnata) yang telah masak merupakan buah kegemarannya. Mencari makan pada malam hari, dengan ketajaman penglihatan menembus keglapan malam. Memiliki kemampuan investigasi mencari calon mangsa, dalam jarak beberapa meter bisa terdeteksi.

Sebagian penduduk pedesaan di Sulawesi Tengah mempercayai musang memiliki kekuatan hipnotis, setiap melakukan operasi malam untuk mencari mangsa, walaupun tidak memanjat ketempat ayam yang sedang tidur. Hanya dengan tatapan matanya sambil mengibas-ngibaskan ekornya ke arah ayam yang sedang berada di atas teratak, dalam tempo beberapa menit saja ayam bisa jatuh ke tanah, lalu diterkam hingga dibawa lari ke hutan. Tetapi sebaliknya, predator utamnya adalah sawa atau ular sanca (Phyton reticulates) yang juga banyak terdapat di hutan Sulawesi.

Kegemarannya makan buah palem atau enau mengakibatkan di beberapa kawasan hutan di Sulawesi, banyak ditemui tumbuhan palem sejenis enau. Hal ini menunjukkan, keberadaan tumbuhan ini tidak lepas dari peran musang yang melakukan penyebaran biji-biji enau. Musang yang makan buah enau masak dengan cara ditelan, begitu mengeluarkan kotoran, maka biji enau yang bentuknya bulat keras itu akan diberaki, kemudian tumbuh di mana-mana. Maka petunjuk yang terbaik untuk mengidintifikasi sebaran hewan ini, salah satu cara adalah mencari dimana banyak tumbuhan enau, di situ memungkinkan menjadi habitat musang.

Pohon enau selain menjadi sumber makanan bagi hewan, juga memiliki banyak fungsi bagi kehidupan penduduk setempat, di antaranya penghasil nira (air tuak) yang dapat diolah menjadi gula merah, daunnya dijadikan atap rumah, buahnya yang masih mudah dapat dijadikan manisan dan lainnya.

Menurut cerita masyarakat Behoa di dataran tinggi lore, kabupaten poso, zaman dulu nenek moyang suku ini sangat gemar memelihara musang. Dipelihara seperti anjing yang dimangfaatkan untuk berburu babi hutan (Sus celebenis) dan rusa (cervus timoerensis) dalam hutan. Namun dalam perkembangan pemeliharaannya, sangat menjengkelkan dan terbilang sulit, mesti selalu diberi perhatian yang lebih banyak dibandingkan anjing peliharaan. Tradisi memelihara musang bagi suku Behoa ini sejak awal abad ke 20, sudah di tinggalkan, karena faktor kesulitan, maka hewan ternak yang ada di sekitar rumah jadi sasaran dan tidak segan melukai orang.

Konon nenek moyang Behoa dan Napu memiliki kepercayaan dalam setap memelihara musang hanya diperbolehkan sampai 9 ekor, kalau lebih akan berakibat fatal, musang jadi galak menerkam tuannya (pemelihara). Benar-tidaknya cerita tersebut, sulit di percaya di alam pikiran terkini, tapi begitulah mitos tentang musang bagi suku Behoa, Sulteng zaman dulu.

Data yang dikumpulkan penulis dari kawasan pantai barat Sulawesi Tengah, terutama dekat hutan Desa Balukung, Kecamatan Sojol dan Desa Tompe Kecamatan Sirenja Kabupaten Donggala, umumnya musang yang terperangkap jerat tidak disengaja.

Kebetualan saja penduduk setempat sering memasang jerat untuk menangkap Ayam hutan (gallus-gallus), tapi justru musang yang sering terperangkap.mengkin disebabkan saat ayam sedang berada didekat jerat tiba-tiba saja musang Yang telah mengintai langsung menerkam ayam, sehingga malah bernasib sial. Semakin langkanya Musang Sulawesi, justru saat ini menjadi daya tarik sebangian orang mulai meliriknya untuk diawetkan dalam kotak kaca sebangai perhiasan souvenir buat pajang di ruang tamu.

Walaupum Musang Sulawesi telah ditemukan 100 Tahun lebih, tapi kini keberadaanya tidak begitu populer dibanding anoa (Bubalus sp) dan Babirusa (Babyroussa babirusa) banyak mengundang minat peneliti.

Chirs Wemmer dan D. Watling, dua ilmuan dari Barat pernah melakukan penelitian kehidupan musang dan habitatnya dikawasan TNLL dan berhasil melakukan pemotretan dengan menggunakan teknologi infra merah, kemudian menghasilkan tulisan; Ekologi and the sulawesi Palm civet, Macrogalidia musschenbroekii (Tahun 1986). Itulah yang kemudian menjadi rujukan konservatoris berikutnya, termasuk dalam penyusunan buku The Ecology of Sulawesi terbitan gajah Mada University Press (Tahun 1987); Anthony J Whitten bersama Muslimin Mustafa dan Gregory S Henderson, hanya sedikit mendiskripsikan tentang musang Sulawesi.

Kuskus Sulawesi (phalanger celebensis) `

Pendekar yang tak kalah uniknya sekaligus makin langka adalah kuskus khas Sulawesi dengan ciri-ciri berbulu tebal seperti beruang, penghuni pohon-pohon di hutan lebat sebagai habitatnya. Khusus kuskus Sulawesi, merupakan jenis paling kecil di antara kuskus yang terdapat di pulau-pulau lain, ukuran panjang badan hanya 34 cm. Mencari makanan buah-buahan dan daun-daun pada malam hari, sehingga disebut pula sebagai hewan malam.

Di pulau Sulawesi (termasuk di pulau Peleng dan Selayar) teridentifikasi ada empat jenis kuskus, yang paling besar disebut kuskus Beruang (Phalanger ursinus) berwarna pirang tua. Kebalikan dari yang kecil, jenis besar ini keluar mencari makan pada siang hari, ukuran yang pernah diidentifikasi yaitu antara kepala-badan sekitar 45 cm dan ekornya 55 cm.

Jenis lain hanya terdapat di Pulau Peleng, Banggai Kepulauan yang disebut Phalanger phalengenis. Ada pula jenis tersendiri yang hanya terdapat di Pulau Selayar, Sulawesi Selatan yang disebut Phalanger maculates dengan ciri bulu berbintik-bintik. Umumnya memakan buah-buahan, ketimun, pucuk bambu, dan dedaunan.

Kuskus memiliki kemiripan dengan Kungkang khas Amerika Tengah dan Amerika Selatan, secara umum mempunyai kebiasaan bergantung di pohon dengan mengikat ekornya sebagai pengikat.

Ekornya cukup kuat bila merekat di kayu, bahkan berfungsi sebagai alat pengikat dengan melilitkan ujung ekornya pada suatu benda yang lebih berat dari tubuhnya untuk ditarik ke atas pohon. Memiliki gigi yang kuat dan tajam sehingga bila menggigit lawannya, sulot dilepaskan. Kuku cakarnya, selain berfungsi sebagai senjata yang sangat berbahaya bagi musuh yang menyerangnya, juga sebagai perekat saat memanjat pohon kayu.

Hewan menyusui ini sangat liar seperti musang berinsting tajam terhadap makhluk asing, bisa cepat mebghindar atau bersembunyi bila akan membahayakan dirinya, tapi tidak segan-segan melawan saat terdesak.

Di Sulteng umumnya terdapat di kawasan Taman Nasional Lore Lindu dan beberapa kawasan Konservasi. Nah akankah pendekar-pendekar itu bisa bertahan dalam beberapa tahun ke depan? Tergantung rasa kepedulian manusia melestarikan habitatnya.

Senin, 14 Desember 2009

MENGENANG WS RENDRA, MENGINGAT ALIMIN LASASI

Oleh: Jamrin Abubakar

KEPERGIAN seorang tokoh untuk selamanya selalu saja belakangan terungkap kebenaran-kebenaran pikirannya, sekaligus jadi kenangan yang selalu dirindukan.WS Rendra (1935-2009) salah satu tokoh penting yang dikenang itu bukan saja meninggalkan banyak murid yang diajar secara langsung (dekat), tapi juga memiliki murid tidak langsung (jauh) hanya lewat pertemuan buku-buku puisi. Tak terkecuali di Kota Palu ada banyak murid WS Rendra walaupun mereka hanya sekali atau bahkan sama sekali tak pernah bertemu.

Rendra selalu saja menarik untuk dibaca kembali, ditafsir dari berbagai sudut pandang. Sebagai begawan budaya Indonesia, ia adalah sosok yang sarat sebutan; penyair, cerpenis, esais, sutradara, dramawan, pemain film, dan lainnya. Sebagai pembaca dan penulis, saya salah satu di antara sekian orang yang baru sekali melihat sosok Rendra dari dekat yang sebelumnya hanya menemui lewat puisi-puisinya maupun hanya membaca tulisan-tulisan tentang sosoknya atau pun kritik tentang pertunjukannya.

WS Rendra Dikritik Alimin Lasasi

Lewat tulisan mengenang Rendra, maka dengan ini pula saya rangkaikan mengingat Alimin Lasasi (1939-1989). Sosok ini memang tak setenar Rendra dan di Kota Palu sendiri namannya nyaris terlupakan di kalangan seniman terutama generasi yang kini baru berkutat di ranah kesenian. Secara singkat akan dipaparkan keterkaitan Rendra dengan Alimin Lasasi yang tidak banyak orang ketahui. Keduanya bersahabat, Alimin seniman teater dari Palu semasa hidupnya pernah berkiprah di forum nasional dengan menjadi “tulang pungggung” Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya di Jakarta dekade 70-an hingga 1989.

Masa itu Bengkel Teater Rendra sedang dalam puncak produktif, demikian halnya Mandiri. Kedekatan Alimin dengan Rendra tidaklah membuat seniman asal Palu itu ragu untuk melakukan kritikan-kritikan sejumlah pertunjukann karya Rendra dalam bentuk esai yang dipublikasikan di beberapa harian terbitan Jakarta waktu itu. Dalam Harian Angkatan Bersenjata, edisi 26 Juni 1976, misalnya Renda mendapat kritikan ulasan dari seorang Alimin bertajuk; “Maccbeth”nya Rendra: Upacara pembacaan puisi? Dalam artikel itu lebih dahulu Alimin memberi ulasan tentang Shakespeare sebagai pengarang.

“Macbeth” karya Shakespeare agaknya tidak memadai kalau kita omongkan hanya dengan beberapa perkataan saja. Padahal orang sudah begitu banyak membaca dan mendengarnya. Tapi bukan itu soalnya. Apakah yang sebenarnya akan diungkapkan Rendra lewat pementasannya yang justru memilih “Macbeth” sebagai lakonnya pada 4-6 Juni ybl?” tulis Alimin mendeskripsikan tentang pementasan Rendra sekaligus menggambarkan sosok Macberh di tangan Rendra antara pujian dan kritik analisis.

Di mata Alimin, dibanding dengan pemain-pemain lain, Rendra terlalu menggembung sendiri. Adegan perkelahian yang mendemostrasikan silatnya, seperti film Mandarin atau “Sati ici”nya Jepang saja dalam pertunjukannya itu. Kata Alimin untungnya latar panggung dan perlampuan yang begitu hebat yang ditangani Rudjito. Namun demikian, di satu sisi Alimin mencermati pertunjukan Rendra dalam “Macbeth” sebagai penampilan priodiknya di TIM terasa hanya mengandalkan kekuatannya pada variasi dandanan latar depan dan latar belakang panggung yang baik belaka.Sehingga lebih banyak meninggalkan kesan sebagai suatu pertunjukan pembacaan puisi yang sempurna.

Bukan hanya itu, dalam sebuah pertunjukan lain, Rendra juga mendapat ulasan dan kritikan dari Alimin terhadap pertunjukan naskah HAMLET yang sebelumnya juga mendapat tanggapan dari Gunawan Mohammad. Tulisan itu dimuat Harian Berita Buana, Senin 7 Februari 1977 berjudul; Kenapa Mesti Hamlet? KRITIK ATAS W.S. RENDRA KONTRA–KRITIK ATAS GOENAWAN MOHAMAD.

Kalau sebelumnya Goenawan Mohamad memberi pujian terhadap pertunjukan Rendra yang dimuat Tempo, 25 Desember 1976, Alimin sebaliknya selain mendeskripsikan kekuatan pertunjukan sekaligus memberi kritikan. “Kita rada kelabakan juga jadinya. Sulit bagi kita untuk memperoleh gambaran yang sebenarnya tentang pementasan itu sendiri, termasuk bagi orang yang telah menyaksikan dan tahu betul apa adanya pertunjukan itu. Goenawan di dalam tulisannya itu semata-mata hanya mau memberi pujian kepada Rendra tanpa mau membukakan cacatnya sama sekali.” tulis Alimin dengan nada kritis.

Menurut pengamatan Alimin waktu itu, kalau dipikir-pikir dan dirasa-rasa bahwa pementasan Hamlet Rendra itu biasa saja, tidak berapa istimewa dan bukannya tanpa cacat, karena itu Alimin mempertanyakan kenapa Goenawan harus mengkait-kaitkan seni peran yang ditampilkan dalam Hamlet Rendra itu sesuai dengan yang dikehendaki oleh Stanislavsky, guru tehnik peran yang masih kita percaya itu. Karena itu pula Alimin berpendapat; Hamlet memang tak dapat dimainkan persis seluruhnya seperti Hamletnya Shakespeare, sebab pertunjukan mungkin memakan waktu enam jam. Rendra terpaksa harus menyadur, memilih, mempersingkatnya, dan memotong-motongnya. Sehingga jadinya hanya ada lakon Hamlet yang lebih miskin dari Hamletnya Shakespeare, tetapi mungkin juga Hamlet yang diperkaya oleh situasi dan jaman kita.

Yang menarik, dari tulisan Alimin tentang karya-karya Shakespeare adalah pemahaman yang mendalam secara tekstual yang kemudian mampu ditafsirkan secara kontekstual ketika sudah diolah dalam pentas drama. Karena itu menurut penilaiannya, Hamlet bisa disimpulkan bermacam-macam : dijadikan kronik sejarah, roman dektektif, atau sebuah drama psikologi. Tinggal mau pilih, mana suka. Tapi mestilah tahu untuk maksud-maksud apa dan sebab alasan-alasan mana kita memilih. Hal ini yang tak jelas bagi saya pada pertunjukan Hamlet Rendra itu (Alimin, 1977).

Rupanya ketajaman pisau analisis Alimin ditunjukkan pula bahwa Hamlet Rendra 1976 tidak lebih menarik, lebih meriah, lebih spektakuler, lebih brutal dan lebih menggebrak dibanding dengan Hamlet Rendra 1971. Alimin yang waktu itu masih jadi mahasiswa LPKJ menilai Rendra waktu itu masih teguh berpegang pada gaya realis yang Aristotelian. Namun demikian soal perbedaan menilai sebuah pertunjukan, Alimin menutup artikelnya; Dengan demikian, maka sempurnalah perbedaan antar Goenawan Mohamad dan Rendra disatu fihak dengan penulis di fihak lain.

Itulah sepintas penilaian Alimin Lasasi, seorang anak negeri dari Kota Palu yang pernah merambah jagad teater di Jakarta, bergaul dengan banyak seniman besar, termasuk Rendra yang sering dicermati pertunjukannya. Tulisan ini ini pun saya lahirkan setelah meminjam pikiran-pikiran Alimin lewat tulisan-tulisannya, sebab saya yakin tak banyak yang tahu untuk tidak mengatakan tak ada orang yang tahu. Hal tersebut menunjukkan kebesaran Rendra bukan karena mendapat puja-pujian, tapi justru sebaliknya sepanjang perjalanannya di panggung teater karena banyak mendapat kritikan dan ulasan dari berbagai sudut pandang. Sebelum meninggal dunia, sebuah buku bersisi ratusan tulisan tentang sejumlah pertunjukan teater Rendra menunjukkan betapa besarnya sang budayawan itu. Salah satu tulisan di dalamnya adalah yang pernah ditulis Alimin Lasasi.

Seandainya Alimin masih hidup sewaktu Rendra berpulang, kemungkinan penerobos kebekuan teater di Palu pada masanya itu akan kembali menulis tentang sosok Rendra yang luar biasa. Namun Tuhan menghendaki lain, Alimin sendiri lebih awal mendahului sahabatnya, ia berpulang pada 28 September 1989 dalam kesunyian tanpa publikasi. Kecuali Putu Wijaya, mengenang secara khusus tentang Alimin dalam bentuk naskah Monolog berjudul BOS dan AENG di Majalah Horison. Selamat jalan Rendra, selamat jalan Alimin.*

(Penulis, seorang wartawan biasa)

Minggu, 13 Desember 2009

To Kaili: Belajar Bahasa Kaili dengan Orang Amerika

Oleh: Jamrin Abubakar

Kini saatnya orang Kaili belajar bahasa Kaili dengan orang Amerika Serikat. Sebab orang Kaili sendiri sudah banyak yang tak tahu menggunakan bahasanya sendiri.

KEHADIRAN Donna Evans, seorang ahli bahasa (linguis) berkebangsaan Amerika Serikat di Tanah Kaili, Lembah Palu selama beberapa tahun dalam dekade 1990-an, membuahkan maha karya sebuah buku. Buku itu terbilang penting, yaitu Kamus Kaili-Ledo Indonesia Inggris, setebal 544 halaman.

Kamus ini diterbitkan Kantor Dinas kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Tengah tahun 2003 lalu dan dicetak PT. Sehati Prima Sejahtera, Jakarta. Secara fisik kemasan buku ini cukup bagus sebagimana buku standar internasional. Sampulnya berupa gambar Kota Palu dengan teluknya dari udara yang eksotik.

Buku ini penanganan distribusinya kemudian dihibahkan pada Dewan Pembina dan Pengembang Budaya Kaili (DPPBK). Sebab ketika akan diterbitkan dan dicetak, menurut Sofyan Ing Houng saat menjabat Wakil kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulteng ketika itu (2001-2003), penulis kamus Donna Evans mau menyerahkan bukunya bila yang menangani sebuah lembaga swasta.

“Dia tak mau menyerahkan ke lembaga pemerintah, tapi maunya menyerahkan ke lembaga swasta, maka untuk itu digagaslah pembentukan Dewan Pembina dan Pengembang Budaya Kaili,” cerita Sofyan dalam sebuah kesempatan. Donna melihat lembaga swadaya masyarakat atau NGO sebagai mitra yang tepat. Kebetulan SIL yang merupakan lembaga yang berpusat di Amerika Serikat yang diwakilinya, juga lembaga swasta, sehingga memiliki relevansi.

Karena itu, kata Sofyan, yang mantan Kepala Museum Negeri Sulteng, ini maka didoronglah pembentukan DPPBK untuk menjalankan salah satu program pengembangan budaya. Jadi pembentukan lembaga Kaili ini peran Sofyan Ing sangat penting yang digagas bersama sejumlah pemuka-pemuka adat Kaili dari berbagai wilayah administrasi.

Penerbitan kamus karya Donna Evans dibiayai Disbudpar, sehingga kini bisa diakses para pemerhati, peneliti dan peminat bahasa Kaili. Karya ahli bahasa dari SIL, sebuah lembaga bahasa di Amerika ini keberadaannya sangat penting. Ia menyusun selama bertahun-tahun dengan telaten mengumpul dan mencatat secara langsung dalam masyarakat berbagai istilah dalam komunitas Kaili berdialek Ledo. Donna yang pernah mengontrak rumah di Jalan Lasoso, Palu Barat itu dalam menyelami bahasa Kaili Ledo, ia cukup akrab dengan masyarakat di beberapa komunitas penutur sangkal ledo. Tidak heran dalam sebuah percakapan dengan almarhum Masyhuddin Masyhuda, ia sangat salut dan mengakui kalau Donna Evans nyaris lebih fasih berbahasa ledo ketimbang orang ledo asli.

Penulis kamus Kaili yang kemudian juga mengadakan penelitian di Fhilipina, selama berada di Palu, ia banyak akrab dengan beberapa aktivis budaya, termasuk bergaul dengan Hj. Nurhayati Ponulele dan Hanafi Sulaiman. Keduanya ahli bahasa dari FKIP Untad dan beberapa

Peduli budaya Kaili

Sejak terbentuknya DPPBK telah melakukan beberapa program kerja, antara lain; sarasehan tentang pengajaran bahasa Kaili, pelatihan dan pembinaan musik tradisi kakula dan rabana di beberapa kelurahan di wilayah Kota Palu. Hasil dari program tersebut, terungkap betapa kayanya budaya Kaili di tengah publiknya, namun di satu sisi ada kecenderungan terancam punah. Keberadaannya juga nyaris tergilas modernisasi kesenian pop yang kian deras menerpa seni tradisi. Akibatnya musik semacam rabana dan kakula, ibarat khazanah yang nyaris terpendam, sehingga hal ini menjadi salah satu agenda DPPBK melakukan revitalisasi demi bangkirnya kembali salah satu entri kebudayaan Kaili.

Keberadaan budaya Kaili bukan berarti mau menyaingi lembaga budaya lain, semacam dewan kesenian, tapi berharap bisa menyatu dalam kerja sama program. Tidak menutup kemungkinan dewan pembina budaya Kaili menjadi wadah yang lebih menanungi yang lainnya.

“Selain itu, tidak menutup diri bagi orang luar Kaili untuk bergabung. Siapapun bisa menjadi bagian dalam lembaga ini selama mereka memiliki kepedulian dan perhatian untuk memajukan kebudayaan Kaili,” ucap Nurhayati secara terbuka.*

(Penulis Jamrin Abubakar, seorang wartawan biasa)

.

MENUMBUHKAN BUDAYA BACA MELALUI PERPUSTAKAAN KELUARGA *

Oleh: Jamrin Abubakar

Berbagai cara dan upaya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan budaya baca masyarakat. Salah satunya membentuk berbagai macam perpustakaan umum yang bisa melayani pengunjung setiap harinya, baik untuk meminjam buku atau sekedar membaca dan mencari bahan referensi yang dibutuhkan.

Bagi pelajar dan mahasiswa untuk mendapatkan bahan bacaan berupa buku, di masing-masing sekolah dan kampus disediakan pula perpustakaan. Koleksi yang tersedia pun beragam berdasarkan mata pelajaran atau mata kuliah sesuai jurusan yang ada. Semua itu sebagai upaya untuk menanamkan budaya baca masyarakat Indonesia, termasuk kalangan mahasiswa yang masih terbilang rendah ketimbang di negara-negara maju yang tingkat kesadarannya membaca cukup tinggi tanpa perlu dikampanyekan tentang pentingnya membaca.

Selain itu untuk mendekatkan bahan bacaan pada masyarakat, pemerintah menyediakan Perpustakaan Keliling dalam bentuk unit mobil yang mengunjungi warga di permukimannya. Ada pula kelompok baca anak-anak yang dilakukan taman-taman bacaan di kota-kota besar, hal ini biasanya dilakukan kalangan LSM yang peduli peningkatan budaya baca.

Tetapi yang namanya “Perpustakaan Pribadi atau Perpustakaan Keluarga,” sebagai salah satu cara untuk menumbuhkan budaya baca masyarakat, khususnya di lingkungan keluarga, belum begitu populer. Padahal cara ini merupakan langkah awal dan paling efektif untuk menciptakan budaya baca masyarakat yang kini masih rendah. Karena itu dalam kampanye budaya baca masyarakat, mestinya pemerintah tidak saja mempromosikan peran dan fungsi perpustakaan umum, tapi mesti melakukan penggalakan atau “gerakan perpustakaan keluarga.” Sebab bila dikonteksnya secara luas tentang slogan Ibuku, Perpustakaan Pertamaku” yang dikampanyekan Badan Perpustakaan Daerah Propinsi Sulawesi Tengah, setidaknya hal itu selain bermakna diharapkan peran ibu rumah tangga sebagai pendidik awal untuk menumbuhkan budaya baca pada anaknya lewat tuturan cerita-cerita dan mengajarkan anak gemar membaca. Masalah pembentukan perpustakaan keluarga dapat juga direlevankan dengan slogan Ibuku, Perpustakaan Pertamaku. Perpustakaan keluarga merupakan perkenalan pertama tentang perpustakaan terhadap anak perlu ditanamkan sebagai cikal bakal menggemari kunjungan ke perpustakaan umum, seperti Perpustakaan Daerah Sulawesi Tengah yang terletak di Jalan Banteng No. 6 Palu.

Nah, di sinilah peran seorang ibu dituntut untuk mengawali adanya budaya baca dalam keluarga, salah satunya mendirikan perpustakaan dalam rumah sebagai cikal bakal tumbuhnya minat atau budaya baca pertama bagi anak-anak. Sebab suatu perilaku dan bakat yang tumbuh dalam diri anak-anak itu juga disebabkan dari didikan awal dari seorang ibu yang telaten sebelum melakukan interaksi sosial di sekolah atau di tengah masyarakat.

Dengan demikian, peran seorang ibu menanamkan anak-anak dan anggota keluarganya untuk gemar membaca sangatlah penting. Begitu pula peran seorang ibu dalam menyediakan perpustakaan dalam rumah, secara tidak langsung telah mengupayakan lahirnya minat baca yang tinggi. Apalagi memang seorang anak atau anggota keluarga yang minat bacanya sudah ada, cuma saja bahan-bahan bacaan yang tidak tersedia, sehinga mengakibatkan seseorang malas membaca apalagi untuk berkunjung ke perpustakaan. Sebagai alternatif, perpustakaan keluarga merupakan jalan keluar yang efektif untuk mengatasi persoalan-persoalan keterbatasan bahan bacaan di lingkungan keluarga.

Manfaat Perpustakaan Keluarga

Berdasarkan pengalaman penulis sendiri dalam membuat perpustakaan keluarga, memiliki beberapa manfaat sebagai berikut:

  1. Menjadi langkah awal mendekatkan anggota keluarga, terutama anak-anak untuk selalu gemar membaca sedini mungkin dengan adanya ketersediaan bahan bacaan dalam rumah.
  2. Mempermudah untuk mendapatkan bahan bacaan atau referensi yang dapat digunakan setiap saat diperlukan secepatnya baik anggota keluarga maupun relasi yang membutuhkan.
  3. Menjadi sarana dokumentasi berharga dan bernilai tinggi bagi keluarga yang bisa dimanfaatkan secara turun-temurun dalam lingkungan keluarga.
  4. Ikut memelihara dan melestarikan bahan pustaka sebagaimana fungsi perpustakaan pada umumnya, sebab kemungkinan suatu saat bahan koleksi pustaka yang dimiliki tersebut menjadi langka dan dikemudian hari banyak dicari peneliti atau pengarang untuk bahan riset dan lainnya.
  5. Dapat menjadi sarana pendidikan dan rekreasi intelektual keluarga dalam memanfaatkan waktu luang dengan membaca koleksi perpustakaan keluarga.

Demikian di antara beberapa fungsi perpustakaan keluarga yang penulis rasakan. Tidak menutup kemungkinan masih banyak fungsi lainnya sesuai dengan pengalaman dan kebutuhan pengguna jasa perpustakaan keluarga berdasarkan latar belakang sosial dan profesi seseorang.

Cara mendapatkan koleksi pribadi

Membuat perpustakaan keluarga, tidaklah mesti besar dan harus memiliki koleksi yang jumlahnya banyak sebagaimana koleksi di perpustakaan sekolah. Cukup sederhana saja dengan membuat atau memesan lemari atau rak kecil semisal berukuran 50 x 100 cm atau sesuai selera dan kemampuan dana. Lemari untuk perpustakaan pribadi dapat dibagi dalam tiga susun atau disesuaikan kebutuhan untuk menyimpan buku-buku, majalah, surat-surat kabar, kliping-kliping dan brosur-brosur.

Penempatannya pun dapat dipilih, apakah di ruang tamu, di ruang keluarga atau di dalam kamar selama tidak mengganggu kenyamanan. Sedangkan untuk mendapatkan bahan koleksi perpustakaan keluarga juga tidak perlu repot mengeluarkan banyak uang untuk membeli koleksi, melainkan dapat dilakukan secara bertahap sedikit demi sedikit.

Bahan bacaan tak mesti yang baru tapi dapat berupa buku bekas yang biasanya dijual di toko-toko buku dengan harga yang sangat murah. Di acara pameran buku-buku juga dapat dijadikan tempat pencarian koleksi buku yang berharga murah, tapi bernilai tinggi, demikian halnya di loakan banyak menyediakan buku-buku. Buku-buku loakan memang belum ada di Kota Palu, kecuali di kota besar seperti Jakarta terdapat banyak tempat penjualan buku loakan, siapa tahu secara kebetulan ke Jakarta, tak ada salahnya manfaatkan waktu mencari buku-buku bekas yang murah meriah, demi mengisi perpustakaan pribadi.

Memilih buku mesti jeli, biar bekas dan tua yang penting bermanfaat sebagai bahan bacaan keluarga. Dapat dilakukan dengan cara menghubungi kerabat atau kenalan yang kemungkinan memiliki buku-buku tua tapi tak lagi ia gunakan, dari pada buku mereka dimakan rayap, lebih baik diselamatkan untuk perpustakaan keluarga, kecuali kalau yang bersangkutan juga penggemar bacaan tentunya tak bisa ia berikan.

Selain itu ada pula cara gratis bisa dilakukan mendapatkan bahan bacaan yang bagus berupa buku dan majalah-majalah. Yaitu dengan menyurat ke kantor-kantor kedutaan besar (Kedubes) negara-negara sahabat (negara asing) yang ada di Jakarta dengan mengemukakan maksud dan tujuan dalam surat permintaan. Sebab keberadaan kedutaan asing itu, selain sebagai mitra pemerintah dalam soal diplomasi politik, juga sebagai wadah promosi kebudayaan mereka kepada masyarakat Indonesia. Nah, salah satunya dalam bentuk promosi lewat bahan bacaan buku-buku dan majalah dengan beragam tema, di antaranya buku-buku sejarah, politik, sastra, ekonomi dan lain-lainnya yang kebanyakan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Pengadaan koleksi dari kedutaan besar, saya sebagai penulis telah melakukan dan membuktikan dengan mendapatkan buku-buku novel, sejarah dan ilmu pengetahuan umum dari beberapa kedubes negara asing di Jakarta. Di antaranya dari Kedubes Amerika Serikat, Kedubes Jepang, Kedubes Mesir dan Kedubes Jerman pernah memberikan beberapa eksemplar dan jenis buku-buku, termasuk majalah tentang negara mereka dan karya-karya novelisnya, sehingga menjadi bahan koleksi perpustakaan keluarga.

Selain beberapa cara yang dipaparkan di atas, dapat pula mengisi perpustakaan keluarga dalam bentuk membuat kliping-kliping surat kabar dan majalah. Cara ini termasuk murah dan mudah, karena bahan-bahannya mudah didapatkan dengan membeli majalah dan surat kabar bekas yang harganya jauh lebih murah ketimbang masih baru. Atau dapat pula didapatkan dari orang-orang yang berlangganan surat kabar yang kemungkinan setelah mereka baca tak lagi dimanfaatkan. Maka, lebih baik digunakan sebagai bahan kliping dengan cara menggunting artikel-artikel atau tulisan yang terdapat di lembaran-lembaran surat kabar tersebut sesuai topik yang diinginkan.

Berbagai upaya mudah dan murah mengisi perpustakaan pribadi yang penulis sebutkan di atas dengan sendirinya, koleksi makin bertambah. Berarti adanya perpustakaan di rumah, memudahkan anggota keluarga mendapatkan bahan bacaan setiap saat guna mengisi waktu luang.

Sekali lagi, perpustakaan keluarga dapat dijadikan sumber bacaan alternatif untuk menumbuhkan budaya baca sedini mungkin pada anak-anak khususnya dan anggota keluarga umumnya, sehingga slogan; “Ibuku, Perpustakaan Pertamaku,” dapat ditambah; “Cintai keluarga dengan menyediakan perpustakaan dalam rumah.” *

(Penulis Jamrin Abubakar, seorang wartawan biasa)

(Tulisan ini merupakan Pemenang Pertama Lomba Menulis Artikel antarwartawan yang dilaksanakan Badan Perpustakaan Daerah Sulteng, 18 April 2007)

Selasa, 08 Desember 2009

Mengenang MORA (1968-2007)

Kepergian Jurnalis Sejati

‘Kalau tidak salah tanggal 5 Agustus 2008 almarhum Mohammad Rafik genap satu tahun wafatnya-bagaimana kalau komiu siapkan laporan in memoriam’

Pesan singkat itu saya terima dari Sofyan Arsyad salah seorang sahabat sejati almarhum yang pernah sama-sama menjadi bagian dalam pengelolaan Koran MAL . Kontan saja saya buka file arsip di komputer. Benar sekali, tak terasa kalau Mora, sapaan akrab Mohammad Rafik Yahya (Wakil Pemimpin Redaksi Koran MAL) sekaligus merangkap pemred dua tahun menjelang wafatnya tak terasa sudah setahun kepergiannya. Rafik yang penggemar karya sastra ini meninggal dunia di kediamannya di Jalan Marisa, Palu Barat pada 5 Agustus 2007 dalam usia 39 tahun. Tepat hari ini lewat catatan ini dikenang kembali

Lahir di Palu pada 5 Maret 1968, sebagai pengabdi sejati yang hidupnya diabadikan di media yang dalam perjalanan berkali-kali ‘sekarat’ . Tetapi seorang Rafik yang ditemani beberapa kawan yang masih setia tetap bertahan di tengah kegalauan mengelola MAL agar masih bisa terbit. Padahal sejumlah kawan jurnalis yang mengantarkan namanya cukup dikenal di tengah publik kota Palu ramai-ramai hengkang ke media yang lebih mapan. Mereka pergi dengan alasan sangat logis mengembangkan karier jurnalistik dan agar dapur tetap berasap.

Tetapi sekali lagi Rafik suatu ketika mengatakan tak mau meninggalkan koran yang dianggapnya memiliki peran cukup besar dalam perkembangan persuratkabaran di Kota Palu ketika kondisinya dalam keadaan susah lantas ia tinggalkan. Baginya jangan hanya dalam keadaan senang lantas bertahan dan ketika sudah susah baru ramai-ramai hengkang, menurutnya itu tak setia.

“Justru di saat seperti keadaan yang susah begini, kita mestinya tetap setia memperjuangkan Koran MAL agar bisa bangkit kembali,” ucap Rafik saat-saat MAL tinggal terbita dua kali sebulan.

Bukanya Rafik tidak tahu berbagai persoalan krisis yang dialami secara intern. Tapi dia tak pernah menampakkan kesedihan terutama soal kekurangan modal secara materi yang membuat karyawan sampai beberapa kali gaji karyawan tertunda-tunda, bahkan tidak pasti. Toh, baginya modal yang dimiliki adalah semangat dan kesetiaan membuat dirinya tetap berbesar hati.

“Insya Allah, kita bisa jadi harian. Tunggu saja waktunya karena saat ini sedang diusahakan oleh Habib Saggaf dan Pak Sofyan Bachmid,” ucap Rafik memberi semangat.

Apalagi pada awal tahun 2007 sudah beberapa kali diadakan rapat yang dipimpin Pak Sofyan Bachmid (kini Pemimpin Perusahaan Media Alkhairaat) bersama di antara sedikit jurnalis yang tersisa dengan wajah yang cemas, dan sekali lagi Rafik begitu semangatnya terutama rapat-rapat yang diadakan di lantai tiga Gedung PB Alkhairaat. Bahkan saat kantor MAL pindah di gedung tersebut, ia ikutserta membersihkan lantai dan dinding ruang yang dijadikan kantor. Hanya beberapa kali terbit di tempat redaksi yang sempat dibersihkannya itu, Rafik sudah sakit-sakitan. Pada saat sakit itu pula Koran MAL berhenti terbit.

Apa yang sering diucap dan diobsesikan Rafik itu memang jadi kenyataan. Hanya berselang 10 bulan setelah ia berpualng, benar-benar Koran MAL bangun kembali setelah beberapa bulan tertidur. Surat kabar yang terbit sejak 1971 itu, akhirnya jadi harian dengan nama Media Alkhairaat. Ibu Maslia , ibunda almarhum Rafik selalu meneteskan air mata seraya terisak-isak setiap berjumpa dengan kawan-kawan anaknya yang kini tetap setia bertahan ketika media tempat Rafik menulis selama 18 tahun sudah terbit harian.

Rasa haru bercampur sedih hingga kini masih mewarnai rona wajah mamanya Rafik, sebutan akrab ibunya. Setiap ia berjumpa dengan kawan-kawan dekat yang selalu bersama almarhum di masa Koran MAL pasang-surutnya terbitnya tetap menjadi kenangan. Adalah Arifuddin M. Arief sang asisten Rafik salah satu sahabat karibnya yang banyak menemani Rafik dalam menjalani pengobatan dari sakit yang dideritanya dari soal kue atau makanan kecil kesukaan Rafik, Arif banyak tahu, termasuk soal membelikan obat-obat di apotik, Arif menjadi orang pertama yang melayaninya .

Yang pasti hingga di akhir hayatnya masih menyimpan banyak obsesi terhadap Koran MAL. Tetapi sayang impian-impian dan obesisnya itu tak kuasa ia saksikan, maut begitu cepat merenggut nyawanya atas kehendak Sang Khalik. Ahad, 5 Agustus 2007 si Mora, sebutan kepenyairan Rafik, berpulang ke rahmatullah sekitar pukul 09.00 Wita. Padahal Sabtu sore, 4 Agustus sekitar pukul 16.30 Wita, saya bersama H. Nungci H. Ali dan Ketua SKOP-Serikat Kolumnis Palu Supardi Ibrahim datang menemui Rafik yang dalam keadaan tergolek, berselimut sarung menutupi tubuhnya yang ringkih, tinggal kulit membalut tulang.

Di saat itu Koran MAL yang dinahkodainya tak luput dari keluhannya, padahal tinggal beberapa jam lagi ajalnya tiba masih sempat memikirkan terbitnya media yang kini jadi sudah jadi harian. Bahkan menurut ibunya, beberapa kali ia menangis, meneteskan air mata memikirkan koran tersebut yang dikuatirkan jangan sampai tak terbit lagi.

Menenang Rafik bukan saja mengingat seorang sahabat sejati, tapi sekaligus mengenang seorang jurnalis yang santun plus penyair yang lembut sebagai kesan yang menarik di simak. Di publik seni Kota Palu, Rafik memang dikenal sebagai salah satu penyair yang karya-karyanya pernah dipublikasikan di sebuah antologi puisi terbitan Dewan Kesenian Palu dan beberapa kali tampil membacakan puisi di berbagai forum sastra di Kota Palu. Bahkan sejumlah acara temu sastra nasional banyak yang dihadirinya.

Rafik adalah pengenal dan penyapa, supel dalam pergaulan namun orangnya pemalu merupakan kesan yang tak terlupakan. Karena itu ketika kabar duka itu menyebar saat itu, ribuan pelayat mengantarkan jenazahnya. Maklum, banyak yang tersentak kaget mendengar kabar duka kala itu.

Rupanya sakitnya Rafik selama empat bulan tak begitu tersiar. Apalagi diketahui, tiga bulan sebelum ajalnya tiba, ia melangsungkan pernikahan dengan seorang gadis pilihannya, Zaenab. Padahal saat berlangsungnya pernikahan itu, sebetulnya dia sudah mulai sakit, namun masih memiliki daya “perlawanan” terhadap sakit lever yang menggerogoti raganya.

Hal itu tak banyak yang tahu, kecuali keluarga dan sahabat dekatnya. Bahkan hanya beberapa jam menjelang pernikahan, ia masih sempat mendapat perawatan dari dokter, sebab pernikhannya, 7 Mei 2007 sulit ditunda, menyusul undangan sudah beredar. Ketika itu, raganyanya memang sudah ringkih, berjalan tertatih-tatih dan dipapah menuju ke pelaminan. Tapi semangatnya tetap bergelora menghadapi sunatuulah.

Sakit berkepanjangan. Raganyanya tak lagi berdaya, walaupun segala daya dan upaya “perlawanan” dilakukan demi menunda maut yang selalu menghadang. Tapi, toh sekali lagi, hidup hanyalah menunda kematian. Tak terkecuali Mora, telah menyerah pada maut. Karena Allah telah megambilnya kembali. Selamat jalan sang jurnalis sejati, penyair yang lembut dan sahabat yang santun.

Hingga kini saya masih sering mendapat pertanyaan dari beberapa orang yang tak sempat mengetahui meninggalnya Rafik dengan mengatakan bagaimana keadaannya Pak Rafik sekarang? Dia telah berpulang setahun lalu. Yang bertanya serentak kaget, seraya mengucapkan Innalillahi wa inna ilahi rojiun.

(JAMRIN ABUBAKAR) pernah dipublikasikan Media Alkhairaat, 5 Agustus 2008.