Senin, 10 Oktober 2011

Draf Buku DIPLOMASI BUDAYA KALEDO DAN KELOR (Wisata Kuliner Kota Palu)

RENCANA ISI BUKU


Pengantar Dari Penulis

Sambutan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palu

1. To Kaili dan Eksotisme Kota Palu Yang Menginspirasi
2. Kuliner To Kaili dalam Kebudayaan
3. Uta Dada dan Uta Kelo: Yang Bersantan dan Yang
Magis
4. Lezatnya “Makan Tulang” di Kota Palu
5. Diplomasi Budaya dengan Kaledo
6. Asal Mula Kaledo (Sebuah Cerita Rakyat)
7. Kemana Mencari Kaledo di Kota Palu?

Daftar Pustaka

Riwayat Singkat Penulis






DASAR PEMIKIRAN



SETIAP daerah memiliki kekayaan kuliner yang khas menjadi kebanggaan budaya masing-masing etnis yang tumbuh dan berkembang secara populer, tak terkecuali pada etnis Kaili di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Di antara sejumlah masakan khas, dikenal masakan Uta Dada, Uta Kelo dan paling popular masakan Kaledo selain Uve Mpoi.
Meskipun kaledo sudah lama dikenal masakan khas Kaili, tapi tulisan mengenai kaledo itu sendiri belum banyak ditulis dari aspek budaya. Bertolak dari keprihatinan itu, pada tahun 1999 lalu saya membuat catatan tentang cerita asal mula kaledo.
Ketika itu di tengah masyarakat memang sudah sering terdengar akronim kaledo = Kaki Lembu Donggala. Apakah secara kebetulan saja akronim itu atau tidak? Yang pasti sebutan kaledo telah popular dengan sebutan kaki lembu donggala, selain sebutan masakan khas itu sendiri. Bahan baku paling bagus untuk masakan ini adalah tulang-tulang kaki lembu atau sapi (meskipun dalam perkembangannya semua tulang sapi yang memiliki sisa daging yang menempel dapat dijadikan masakan kaledo). Makan Kaki Lembu Donggala di Palu. Demikian catatan awal saya yang merupakan bagian dari kumpulan tulisan dalam; Mengenal Khazanah Budaya dan Masyarakat Lembah Palu, YKST, 1999.
Penulis ceritakan adanya seorang dermawan yang menyembelih seekor sapi miliknya untuk dibagi-bagikan ke penduduk. Secara kebetulan yang datang lebih awal adalah orang Jawa dan mendapatkan daging yang dijadikan bakso. Orang Makassar menyusul kemudian, sehingga tinggal mendapatkan perut (jeroan) sapi yang akhirnya dijadikan masakan Coto Makassar. Belakangan orang Kaili lebih terlambat, hanya mendapatkan tulang dan kaki sapi. Namun ketika orang Kaili memasak tulang-tulang yang dinamainya kaledo tak kalah lezatnya.
Anekdot itulah yang kemudian dikutip seorang wartawan Harian KOMPAS dalam tulisannya; Menikmati Kaledo Langsung di Pusatnya (2008). Kutipan serupa dilakukan Jafar G. Bua seorang jurnalis Trans TV di Palu dalam sebuah blognya dengan tulisan; Kaledo dan Singkong Rebus (2009). Kutipan demi kutipan kian menyebar di dunia maya, terutama dalam akun facebook.
Berkembangnya usaha kuliner di Kota Palu dalam satu dekade terakhiri, kaledo salah satu menu pavorit. Bahkan sebuah industri mie instan terkenal pernah memproduksi mie rasa Kaledo seperti halnya mie rasa Coto Makassar. Hal itu menunjukkan kaledo diakui sebagai brand yang secara ekonomi sangat menguntungkan bagi pemilik warung. Di satu sisi kaledo menjadi bagian diplomasi budaya yang telah mempengaruhi tata sajian makanan pada warga biasa sampai kalangan pejabat dalam perjamuan resmi.
Menyahuti rasa ingin tahu pembaca tentang kaledo, minimal buku ini bisa memberi pencerahan apresiasi tentang masakan tersebut. Penulis tampilkan pula sebuah fiksi legenda tentang Asal-Mula Kaledo yang berdasarkan imajinasi penulis.
Demikian pengantar penulis pada buku yang diberi judul; Diplomasi Budaya Kaledo dan Kelor. Saran dan masukan pembaca yang lebih baik akan bermanfaat untuk kemajuan penulisan beragam kekayaan kuliner daerah Sulawesi Tengah. Selamat membaca*

FESTIVAL DANAU DAMPELAS TIDAK ADA KEPASTIAN

DONGGALA-Persiapan pelaksanaan Festival Danau Dampelas (FDD) 2011 hingga kini tidak ada kepastian, menyusul belum dilakukannya pembenahan lokasi kegiatan di sekitar Danau Dampelas, Desa Talaga, Kecamatan Damsol. Sebab beberapa kali rencana tersebut kembali ditunda, padahal sebelumnya Kadis Budpar Donggala, Himran Sukara menyatakan FDD akan dilaksanakan pada pertengahan September dari rencana semula Agustus. Disebabkan bertepatan Ramadhan pada bulan Agustus, maka waktunya dijadwalkan pada September.

Namun hingga memasuki bulan Oktober ini sekali lagi tak ada kepastian, sehingga semakin tidak ada kejelasan kegiatan yang teragenda secara baik. Sebuah sumber di Kantor Budpar Donggala sendiri mengakui kalau persiapan FDD tahun ini belum ada kepastian hari pelaksanaannya. Akibat tidak ada kejelasan tersebut, menurut Hapri Ika Poigi seorang akivis seni asal Damsol yang terlibat dalam festival tahun lalu, menyatakan keprihatinan. Sebab tidak adanya agenda yang pasti dalam pelaksanaan event yang terjadwal secara pasti di Donggala, membuat pula tidak adanya penyesuaian dalam jaringan event satu sama lainnya di daerah maupun secara nasional.

“Jangan hanya karena tiba masa tiba akal, kemudian festival dilaksanakan sehingga berdampak pada kualitas yang rendah. Nah, kita sebagai warga Donggala tidak menginginkan kabupaten yang sudah tua ini, tapi event festivalnya tidak jelas dan kurang maksimal hanya karena tidak adanya keseriusan dari pengelola,” kata Hapri Ika Poigi.

Sementara itu juga Camat Damsol M. Arief Panungkul secara terang-terangan menyatakan keprihatinannya. Sebab selama ini tidak ada pembenahan area festival, dan selalu saja mendekati hari kegiatan baru sibuk seperti tahun lalu. “Karena itu sekiranya dilakukan persiapan dengan penganggaran dari Pemkab Donggala dengan membangun panggung kesenian yang permanen. Sebab acara tahun lalu panggungnya hanya darurat dan tidak maksimal,” kata Arief Panungkul.

Bahkan kata Arief kalau memang akan menjadikan FDD sebagai agenda ahunan Kabupaten Donggala, maka arena kegiatan harus betul-betul dilengkapi fasilitasnya. Terutama pemasangan instalasi listrik yang tetap, sebab selama ini setiap ada kegiatan hanya memakai instalasi dari rumah warga dan kurang mencukupi.
Karena itu pula, Hapri Poigi meminta Bupati Donggala lewat Disbudpar agar betul-betul menangani FDD secara professional, sehingga kabupaten yang kaya dengan potensi wisatanya, tapi tidak tertangani dengan baik. Termasuk tidak terkelolanya festival yang pasti dan tetap penjadwalannya dalam kalender event nasional, sehingga bisa terkoneksi dengan jaringan festival daerah lain. (JAMRIN AB)

Kamis, 29 September 2011

Towale dan Pusentasinya LEGENDA KAILI YANG TERSEMBUNYI

KABUPATEN Donggala sangat kaya dengan cerita rakyat atau legenda yang merupakan warisan leluhur, terutama adanya Pusentasi di Desa Towale, Kecamatan Banawa Tengah.

Kampung tua yang pada zaman kerajaan dulu dikenal sebagai salah satu kota pitunggota Kerajaan Banawa itu sampai sekarang banyak memiliki potensi wisata pantai. Menjangkau kampung tersebut sangatlah mudah, karena tempatnya berada hanya sekitar 13 km dari pusat Kota Donggala. Dapat ditempuh dengan kendaraan sepeda motor atau bus, apalagi berada di lintasan Jalan Trans Sulawesi menuju Sulawesi Barat. Bagi orang yang berkunjung ke Towale, pasti merasakan suasana pedesaan yang bersahaja dengan keramahan penduduknya.

Di kampung ini pula terdapat banyak cerita legenda yang yang berkaitan dengan asal-usul dan kekerabatan suku Kaili di Sulawesi Tengah. Tetapi sayang banyak yang belum terdokumentasi dalam bentuk buku, manuskrif atau publikasi media massa, sehingga dikhawatirkan suatu saat terancam punah dan tidak lagi diketahui generasi muda mendatang. Penyebabnya, selain penuturnya berangsur-angsur berkurang, juga generasi mudanya tidak lagi menggandrungi tradisi tutura (tradisi bertutur). Hal tersebut terungkap dalam penelusuran penulis dengan menemui sejumlah narasumber di Towale pekan ini. “Sebetulnya bukan hanya cerita legenda yang dikhawatirkan bakal punah, tapi juga bahasa Kaili dialek Doi di Banawa Tengah saat ini terancam punah, karena sudah banyak istilah yang tidak diketahui generasi muda,” kata Hamli Harape (71) seorang tokoh masyarakat Towale.

Bagi masyarakat Kota Donggala, nama Towale tidaklah asing. Sebab kampung tersebut sangat dikenal sebagai salah satu penghasil ikan dan tempatnya para pengrajin kain sarung Donggala atau buya sabe. Bahkan tak kalah popular dengan adanya obyek wisata Pusentasi atau lebih dikenal pusat laut yang eksotis.

Selain itu Pusentasi memiliki cerita legenda yang menarik sebagai daya tarik untuk pengembangan wisata, cuma saja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Donggala selama ini belum mengekploitasi dari aspek sejarah budaya. Melainkan masih mengandalkan pada wisata alam pantai semata. Sehingga pihak Disbudpar lebih memprioritaskan pembangunan sarana wisata berupa cottage di kawasan Pusentasi, mengingat kawasan ini merupakan salah satu andalan pariwisata di Kabupaten Donggala. Padahal bila saja keaneka ragaman seni dan budaya di Towale dikelola, niscaya tidak membuat orang-orang tua khawatir budaya leluhurnya punah, termasuk soal bahasa daerah.

Karena itu pula Hamli Harape yang pensiunan guru sekolah dasar ini berupaya mengumpulkan istilah bahsa Kaili dialek Doi, walaupun mengaku belum ada solusi akan dibawa kemana kalau tulisannya itu rampung. Yang pasti saat ini baru sekitar 2000-an kata yang terkumpul, dan dikerjakan secara pelan. “Ini suatu saat bisa dipelajari generasi muda, karena suatu saat bahasa Kaili bisa saja punah,” kata Hamli prihatin. Cerita yang Tersembunyi Soal cerita legenda di Towale, kata Hamli diakuinya cukup banyak. Di antaranya tentang Yamamore seorang gadis cantik yang melarikan diri, cerita tentang Karampuana, Bulava Mpongeo atau kucing emas dan berbagai cerita raja-raja.

Bahkan M Azwar M. Diah seorang seniman yang berprofesi guru di Towale, telah menampilkan sejumlah cerita legenda desa tersebut dalam bentuk seni pertunjukan monolog maupun dramaturgi. Terutama pada event pertunjukan mendongen di acara Pekan Budaya se-Sulawesi Tengah di Donggala, Parigi Moutong dan Tolitoli. “Semua cerita legenda yang saya angkat dalam pertunjukan drama merupakan hasil penelusuran saya berdasarkan sumber lontara berbahasa Bugis yang menceritakan tentang raja-raja Tanah Kaili,” kata Azwar soal sumber cerita legenda. Azwar asal Pare-Pare yang telah lama bermukim di Towale, memiliki kemahiran membaca lontara berbahasa Bugis.

Kebetulan dari mertuanya memiliki koleksi lontara yang diwariskan turun-temurun, sehingga dari peninggalan itulah ia melakukan terjemahan ke dalam cerita yang kemudian dipentaskan. “Cuma saja sayang dari berbagai cerita yang ada, ada kecenderungan orang menyembunyikan dan tak mau menyiarkan. Sebab masih ada anggapan kalau diungkap nanti diambil orang lain, dan membuat mereka jadi kaya. Sementara pemiliknya tidak dapat apa-apa,” ungkap Azwar soal ketertutupan sebagian warga.

Adanya kecendrungan orang menyembunyikan cerita rakyat, bukan karena dianggap tabu. Melainkan masih adanya kecurigaan, kalau disebarkan oleh peneliti atau penulis lain, seakan tak ada manfaatnya bagi masyarakat. “Nah, itu jadi persoalan tersendiri. Padahal soal cerita itu walau tersebar kan tidak lantas membuat orang yang menulis itu jadi kaya raya atau bagaimana. Itu hanya kecurigaan. Ya, apa boleh buat begitulah kenyataannya,” kata Azwar lagi. Akibat adanya ketertutupan tersebut, membuat Desa Towale yang eksotis dan kaya dengan legenda yang bisa diangkat ke forum nasional, akhirnya tersembunyi.

Padahal legenda Yamamore dan Bulava Mpongeo misalnya tak kalah menariknya dengan sejumlah cerita rakyat di daerah lain yang cukup terkenal secara nasional. Padahal cerita legenda yang ada di Towale sangat menarik. Selain memiliki seting cerita yang berkaitan dengan lingkungan alam sekitar juga sarat dengan pesa-pesan kemanusiaan dan keadatan yang patut menjadi teladan bagi generasi muda. Meskipun demikian, Azwar tetap berupaya mengumpulkan dan melakukan penulisan sejumlah cerita rakyat walau sebatas disimpan dalam rumah dengan harapan bila mendapat undangan pementasan, dengan mudah akan dibawakan.

Karya-karya hasil eksploitasinya itu tak ada yang ditulis secara utuh, karena pihak keluarga tidak mendukung dan timbul kekhawatiran akan diambil orang lain. Sementara itu Hapri Ika Poigi, dosen Antropologi di FISIP Universitas Tadulako yang dimintai tanggapannya, menyatakan yang namanya cerita rakyat merupakan karya yang dapat dinikmati secara luas, bukan milik seseorang atau kelompok.

Siapa saja berhak untuk mengetahui dan siapapun bisa menulisnya dalam bentuk karya tulis dengan berbagai gaya. Yang tidak bisa adalah mengklaim suatu cerita sebagai milik suatu kampung di luar yang tidak seharusnya. “Adanya pemikiran yang curiga seakan orang akan mengambil suatu legenda dan membuat orang lain jadi kaya, itu pemikiran paradikma lama dan sangat keliru. Pemikiran semacam itu harus diubah, kalau tidak justru akan mengaburkan khazanah budaya daerah,” ungkap Hapri Ika Poigi di Palu.

Karena itu tidaklah berlebihan kalau Towale dapat disebut salah satu kampung kaya legenda yang tersembunyi, walau sudah bersentuhan dengan modernisasi.* (JAMRIN ABUBAKAR)

Minggu, 11 September 2011

PELABUHAN DONGGALA * Dari Sawerigading Sampai Orde Baru

Oleh: Jamrin Abubakar



[Catatan;Tulisan ini tidak bermaksud melakukan pengkajian sejarah pelabuhan Donggala, tapi hanyalah sebuah apresiasi secara sepintas sebagai refleksi yang bisa diapresiasi lagi oleh pembaca]

DONGGALA salah satu kota niaga yang dikenal sebagai kerajaan maritim bernama Banava tempo doeloe yang kini telah berusia sekitar 7 abad. Usia tua itu mengacu pada catatan yang menyebutkan, Donggala abad 14 sudah sering disinggahi kapal niaga untuk perdagangan dan pencarian kayu cendana oleh orang-orang Eropa.
Bahkan bisa jadi, jauh sebelum abad 14, Donggala sudah menjadi salah pusat peradaban cukup penting di Nusantara, mengingat adanya permukiman cikal bakal terbentuknya kota itu sudah cukup lama. Menurut cerita turun-temurun, di sebelah barat terdapat permukiaman tua, tepatnya Ganti (dulu Pudjananti). Dahulu kala, permukiman yang kini jadi kota masih merupakan laut teluk. Konon, air laut sampai di Ganti, sehingga pelabuhan lama berada dalam teluk yang kini jaraknya 2 kilometer lebih dari Pelabuhan Donggala sekarang. Sebagai bukti-bukti arkeologi, menunjukkan di sekitar perkampungan menuju Ganti sangat mudah ditemui pecahan-pecahan kerang berserakan.

Masyarakat Donggala dan Ganti sendiri mempercayai hal itu. Apalagi di Ganti juga ada tempat bernama Langgalopi yang dalam bahasa Bugis Donggala berarti “galangan perahu atau kapal”. Konon, di situlah kapal Sawerigading yang dikenal dalam sure I Lagaligo dari Tanah Luwu yang dikenal sebagai petualang dan penguasa lautan dengan ratusan armada setiap melakukan pelayaran ke berbagai kawasan, pernah berlabuh dan menyangga kapalnya di tempat itu untuk diperbaiki. Setelah kedatangan Sawerigading di Ganti ia melanjutan pelayaran ke Kerajaan Bangga dan kemudian ke Sigi di Teluk Kaili yang kala itu, Lembah Palu juga masih berupa perairan laut teluk.

Pelayaran tersebut bermaksud menjalin persahabatan dan tak terkecuali bermaksud mencari wanita-wanita cantik untuk dijadikan istri. Tapi selama di Tanah Kaili, Sawerigading gagal mengawini Ngilinayo, ratu Sigi, karena saat meminang tiba-tiba saja terjadi bencana alam dahsyat (gempa bumi), sehingga pembicaraan pinang-meminang berubah jadi saling menyelamatkan diri dan berakhir menjalin persahabatan dan persaudaraan.

Menurut legenda, akibat bencana itulah, kemudiaan perairan teluk yang kini kota Donggala dan Palu, jadi mengering, setelah air laut surut dan sebagian teluk tertimbun tanah. Penduduk di punggung-punggung pegunungan pun mulai turun ke lembah bekas laut itu sebagai pemukiman baru secara turun temurun hingga sekarang.
Benar-tidaknya cerita ini, memang belum dapat dipastikan. Tapi yang jelas bila dihubung-hubungkan beberapa nama tokoh dan tempat yang disebutkan dalam kitab Bugis Kuno, I Lagaligo beberapa bagian menyebut nama Pudjananting sebagai salah satu wilayah Sawerigading dalam melakukan petualangan dimana I Lagaligo putra Sawerigading melakukan perkawinan dengan seorang wanita bernama Karaeng Tompo di Pudjananting. Ada pula disebutkan tentang nama Nyilina iyo yang di di Tanah Kaili atau tepatnya di Kerajaan Sigi dikenal sebagai raja perempuan pertama di kerajaan itu, Cuma saja dalam kitab tersebut, Nyilina Iyo dimaksud adalah seorang laki-laki sebagai raja Sunrariaja.

Kitab bahasa Bugis yang telah diterjemahkan ke Bahasa Belanda oleh R.A. Kern tahun 1936 yang kemudian oleh La Side dan Sagimun M.D diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan Gadjah Mada University Press, 1993, sangat menarik diteliti lebih lanjut. Beberapa nama lokasi (tempat) disebutkan di dalam suatu peristiwa, sulit diinterpretasikan atau dicocokkan dengan nama-nama tempat yang ada sekarang, kecuali beberapa daerah lainnya. Sebab mungkin nama-nama tempat dalam peristiwa ratusan tahun silam itu, kemudian berubah nama sesuai perkembangan masyarakatnya.

Salah satu daerah jelajah Sawerigading adalah Pudjananting. Mungkin yang dimaksud itu adalah Pudjananti (sekarang: Ganti), mengingat orang Kaili dalam melafalkan suatu nama berakhiran ng, selalu tidak disebutkan, sehingga Pudjananting itulah disebut Pudjananti. Begitu pula sebutan Sawerigading dalam bahasa Bugis orang Kaili mengeja menjadi Saverigadi dengan menghilangkan ng. Dalam kitab tersebut, bisa memperkuat kebenaran cerita rakyat kalau Sawerigading pernah menambatkan perahunya di Ganti. Kalau memang benar, berarti jauh sebelum itu, di daerah sekitar Donggala sekarang ini telah menjadi permukiman sejak lama.

Pudjananti, merupakan salah satu dari tiga kerajaan tua di Sulteng se-zaman Majapahit dan Singasari, yakni Kerajaan Banggai (Benggawi) dan Sigi. Dalam tulisan almarhumah Andi Mas Ulun Parenrengi (13 Tokoh Sejarah Dalam Pemerintahan Kerajaan Banawa) yang belum diterbitkan, menjelaskan; Pudjananti mengalami masa kejayaan antara 1220-1485. Kemudian menjadi cikal-bakal terbentuknya Kerajaan Banawa Donggala dengan raja pertama, seorang perempuan, bernama I Badan Tassa Batari Bana, (1485-1552). Kedua juga perempuan; I Tassa Banawa (1552-1650), ketiga masih perempuan, I Toraya (1650-1698).

Baru raja keempat pertama dipimpin laki-laki, La Bugia Pue Uva (1698-1758), tapi penggantinya, raja kelima kembali dipimpin perempuan; I Sabida (1758-1800) dan raja keenam merupakan perempuan terakhir dalam pemerintahan Banawa, bernama I Sandudongie (1800-1845). Raja ketujuh La Sabanawa I Sanggalea Dg Paloera (1845-1888), raja kedelapan Lamakagili Tomai Doda Pue Nggeu (1888-1902), raja kesembilan Lamarauna Pue Totua (1902-1930), raja kesepuluh La Gaga Pue Tanamea (1930-1932), raja kesebelas La Ruhana Lamarauna (1935-1947), raja keduabelas La Parenrengi Lamarauna (1947-1959). Sedangkan La Malonda Pue Djoli, sebagai pelaksana harian Kerajaan Banawa dikenal sebagai ketua dewan adat Pitunggota (1889-1903).

Konon nama Banawa diambil dari salah satu sebutan kapal walenrenge Sawerigading. Diabadikan sebagai kenangan atas pertalian persaudaraan keturunan dinasti Sawerigading dari putranya I Lagaligo. Sebab dipercaya, raja-raja yang memerintah di Pudjananti merupakan keturunan I Lagaligo, putra Sawerigading.

Semasa hidupnya Mas Ulun yang juga salah satu keturunan raja terakhir Banawa sangat rajin melakukan penjejakan dokumentasi dan penulusuran sejarah Banawa. Dalam tulisannya yang belum sempat diterbitkan [Cuma saja ia tidak menjelaskan sumbernya], menyebutkan silsilah keturunan raja dalam pemerintahan Banawa bertitik awal dari I Lagaligo, sebagai berikut;

I Badan Tassa, putri Patta Manurung (kakak tertua La Umasse Raja Bone II) dari istrinya Peambuni putri Raja Kaili dengan La Mappanganro Le Gantie putra Lagaligo Datuna Luwu-Palopo dari istrinya Karaeng Tompo Daeng Malino Raja Pudjananti keturunan To Manurunge ri Goa (To Mangkasak). Dibuatlah kesepakatan dari raja-raja yang menurunkan darah bangsawan murni kepada kedua mempelai dengan hadiah seluruh wilayah Kerajaan tua Pudjananti dengan nama baru “Kerajaan Banawa.”

Pelabuhan Jadi Rebutan
Pudjananti, dari abad ke abad mulai dikenal sebagai salah satu kerajaan Nusantara, terlebih lagi, ketika beralih menjadi Kerajaan Banawa. Kipranya kian besar dan dikenal lebih luas hingga ke berbagai negara lain. Ketenaran dan peran besar yang disandangnya, berkat bandar niaga Donggala yang mendapat perhatian orang-orang untuk dijadikan salah satu kota jaringan perniagaan. Bahkan kapal pedagang Portugis pernah menyerang bandar ini, untuk dikuasai, sehingga terjadi saling serang antara pihak kerajaan dengan Portugis tahun 1669 di masa pemerintahan raja La Bugia Pue Uva dan dapat mempertahankannya.

Sebelumnya pedagang dari Gujarat (India), Arab dan Cina sudah sering mendatangi kota itu. Mereka membawa barang-barang untuk dijual dan sebaliknya membeli hasil bumi berupa; rotan, damar, kayu cendana, dan repah-rempah. Kemudian pedagang Gujarat tahun 1767 mulai memperkenalkan cara menenun kain sutra yang kini dikenal sarung Donggala yaitu pada masa pemerintahan raja Banawa I Sabida (1758-1800).

Makin ramainya bandar ini, membuat bangsa-bangsa asing berdatangan dengan kepentingan masing-masing. Bahkan jauh sebelum itu telah terjalin jaringan pelayaran dan perdagangan sebagaimana diungkapkan Indonesianis dari Prancis, Ch. Pelras dalam buku Citra Masyarakat Indonesia (PT. Sinar Harapan), menyebutkan sebuah naskah Cina paling tua diterbitkan dalam bentuk terjemahan tentang daerah Nusantara yang disampaikan oleh J.V.Mills dalam Archipel No. 21 (Chinese Navigation) halaman 79 menyebut hanya mengenai Donggala di Sulawesi sesudah tahun 1430.

Jadi jelas sebelumnya sudah menjadi kota penting memiliki daya tarik bagi pedagang, terutama untuk membeli kayu cendana (Santalum album), salah satu jenis kayu bernilai ekonomi tinggi banyak dicari pedagang dari Eropa. Orang Eropa pertama yang tinggal di Sulawesi Selatan bernama Antonio de Paiva dalam tahun 1542-1543 yang bermaksud mendapatkan kayu cendana, menurut Pelars rupanya diperkirakan bisa diperoleh di daerah Donggala. Saat itu di daerah Kaili banyak ditumbuhi pohon cendana akar. Kesaksian terakhir disampaikan oleh seorang peniliti Dr. Boorsman, pernah menemukan beberapa batang pohon cendana di pegunungan yang hampir gundul di sekitar Palu-Donggala. Sayang jenis kayu ini sudah punah, kecuali tinggal beberapa pohon masih dapat ditemui di suaka alam Poboya, Palu Timur.

Dalam perkembangannya, Donggala bukan saja dikenal kota pelabuhan, tapi juga kota pelajar, kota niaga (perdagangan), kota pemerintahan, kota perjuangan dan kota budaya yang sering mendapat kunjungan. Josep Condrad, misalnya seorang pengarang berkebangsaan Inggris kelahiran Polandia, menjadikan Donggala sebagai salah satu tempat penjelajahan Nusantara (1858-1924) dan sempat menjalin persahabatan dengan La Sabanawa I Sangalea Dg Paloera, raja Banawa ke-7 (1845-1888).

Tapi pemerintah Hindia Belanda-lah yang akhirnya menguasai penuh bandar ini setelah sejak lama melakukan penaklukan dengan memaksa raja menandatangani berbagai perjanjian, salah satu cara penaklukan halus. Raja Banawa ke-VI, I Sandudongie, tahun 1824 terpaksa menandatangani kontrak dengan Pemerintah Belanda, demikian pula kerajaan-kerajaan lain mengalami hal yang sama. Berbagai penekanan dan adudomba, dapat memuluskan Belanda membangun Kantor Doane dan berbagai fasilitas perkantoran, demi memperlancar monopli perdagangan dan kekuasaan segala hal.

Maka sejak awal abad 20, kedudukan Belanda makin kuat menjalankan kekuasannya di Donggala hingga kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Pada masa kemerdekaan itu, Donggala masih tetap mengandalkan bandar lautnya dalam beberapa dekade sebagai pintu gerbang pendistribusian barang-barang produksi ke berbagai kota di Sulteng.
Jadi Donggala sebagai kota dan pelabuhan adalah ibarat satu jiwa dan raga yang tak terpisahkan. Tapi sayang dalam perjalanan sejarah kota pelabuhan ini mengalami pasang-surut yang tidak lepas dari percaturan politik berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Bukan saja kehadiran pemerintah Belanda terlalu banyak menimbulkan konflik dan adu-domba antarkerabat raja-raja. Pendudukan tentara Jepang dan kehadiran tentara Sekutu/NICA dalam Perang Dunia II, membuat kota yang dibangun ratusan tahun silam kembali kecipratan sengsara dengan hantaman bom sehingga porak-poranda.

Memang fungsi pelabuhan bukan saja jadi nadi perekonomian, tapi juga menjadi area kebudayaan dan politis pergerakan perjuangan kemerdekaan. Sekedar contoh, ketika terjadi penolakan pendudukan Belanda yang diboncengi Sekutu/NICA, barisan Pemuda Indonesia Merdeka (PIM) melakukan penurunan bendera merah-putih-biru milik pemerintah Hindia Belanda di halaman Kantor Doane (Bea dan Cukai), Pelabuhan Donggala, 21 November 1945.

Tahun 1957 pemberontak Permesta membombardir pelabuhan dengan serangan udara pesawat Bomber AUREV B-26, mengakibatkan lima kapal perang RI (Moro, Giliraja, Mutiara, Insumar dan RI Palu) yang sedang berlabuh tenggelam bersama peralatan perang; senjata, truk, tank dan bermacam perbekalan perang, serta menewaskan sejumlah anak buah kapal dan nahkoda kapal Moro.

Rebutan dan penderitaan belum sampai disitu. Kebijakan pemerintah Orde Baru yang mengalihkan fungsi dan status pelabuhan nasional Donggala ke Pantoloan tahun 1978, redup pula mobilitas perekonomian dalam kota. Bahkan hingga kini di era reformasi, episode “rebutan” masih akan berlanjut entah sampai kapan?

Ketika cerita kejayaan masa silam itu dibuka kembali, seakan hanya sebuah legenda bagi generasi mendatang. Tapi itulah sebuah geliat budaya yang pernah berproses di sebuah pelabuhan. * [Jamrin Abubakar]

Kamis, 08 September 2011

MISTERI NEGERI SERIBU MEGALIT

Jamrin Abubakar


catatan perjalanan wisata budaya



Misteri Negeri Seribu Megalit


Penulis: Jamrin Abubakar

Sumber foto sampul: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Tengah

Desain sampul dan isi: Sunlie Thomas Alexander

Hak cipta pada penulis: Dilarang memperbanyak atau menyalin, menfotokopy, merekam (audio visual) sebagian atau seluruh bagian buku ini dalam bahasa atau bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penulis buku ini. (UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA)

halaman 14 x 20 cm



PENGANTAR PENULIS



Foto diatas adalah IKSAM, seorang antorplog yang sering melakukan poenelitian masalah megalit di Tanah Lore

BUKU ini merupakan kumpulan tulisan yang sumbernya dari surat kabar, majalah, sebagian dari buku yang sudah terbit dan catatan dalam blog. Kemudian penulis revisi kembali tanpa mengurangi tulisan aslinya dengan harapan bisa menambah khazanah pustaka daerah Sulawesi Tengah.
Karena itu tidaklah satu tema saja, melainkan beragam catatan perjalanan dari berbagai tempat dan obyek wisata dari perspektif budaya. Sulawesi Tengah memiliki eksotisme yang tak semua negeri memilikinya, berupa mahakarya purbakala zaman megalitikum. Sebaran megalit di Lembah Tanah Lore, Kabupaten Poso dan sekitarnya merupakan anugrah yang tak ternilai. Warisan para leluhur yang pernah mendiami dataran tinggi Sulawesi Tengah ribuan tahun SM menyisakan legenda masa lampau di masa kini.
Sebaran megalit yang eksotik dengan berbagai bentuk dan ukuran itu bagai misteri yang menarik untuk kunjungan wisata dan tempat penelitian (para arkeolog telah melakukan penelitian). Kekayaan yang dimiliki Tanah Lore itu pula penulis namai “negeri seribu megalit.”
Di antara tulisan dalam buku mengenai negeri seribu megalit ini, hanyalah sebagian kecil dari kekayaan yang terpendam di Sulawesi Tengah. Selain itu penulis mendeskripsikan sepintas danau-danau dataran tinggi di Tanah Lore Lindu yang masih memiliki hubungan dengan bagian peradaban manusia zaman purbakala.
Buku ini tentunya masih jauh dari harapan yang memuaskan pembaca, karena apa yang diungkapkan di sini merupakan pandangan terbatas. Bisa jadi penulis lain atau pembaca memiliki pengalaman yang berbeda dari suatu obyek yang sama. Tetapi itulah upaya seorang wartawan biasa yang masih minim pengalaman dalam penjelajahan, cuma saja demi cinta di antara khazanah Indonesia, patutlah kita berbagi pengalaman.
Penerbitan buku ini tidak lepas dari dukungan, dorongan dan bantuan banyak pihak sehingga bisa sampai di tangan pembaca. Untuk itu saya ucapkan terima kasih pada sahabat, relasi dan semua orang yang telah memberi spirit dalam proses penulisan dan penerbitan buku ini.



Jamrin Abubakar
Penulis

Rabu, 25 Mei 2011