Senin, 10 Oktober 2011

Draf Buku DIPLOMASI BUDAYA KALEDO DAN KELOR (Wisata Kuliner Kota Palu)

RENCANA ISI BUKU


Pengantar Dari Penulis

Sambutan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palu

1. To Kaili dan Eksotisme Kota Palu Yang Menginspirasi
2. Kuliner To Kaili dalam Kebudayaan
3. Uta Dada dan Uta Kelo: Yang Bersantan dan Yang
Magis
4. Lezatnya “Makan Tulang” di Kota Palu
5. Diplomasi Budaya dengan Kaledo
6. Asal Mula Kaledo (Sebuah Cerita Rakyat)
7. Kemana Mencari Kaledo di Kota Palu?

Daftar Pustaka

Riwayat Singkat Penulis






DASAR PEMIKIRAN



SETIAP daerah memiliki kekayaan kuliner yang khas menjadi kebanggaan budaya masing-masing etnis yang tumbuh dan berkembang secara populer, tak terkecuali pada etnis Kaili di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Di antara sejumlah masakan khas, dikenal masakan Uta Dada, Uta Kelo dan paling popular masakan Kaledo selain Uve Mpoi.
Meskipun kaledo sudah lama dikenal masakan khas Kaili, tapi tulisan mengenai kaledo itu sendiri belum banyak ditulis dari aspek budaya. Bertolak dari keprihatinan itu, pada tahun 1999 lalu saya membuat catatan tentang cerita asal mula kaledo.
Ketika itu di tengah masyarakat memang sudah sering terdengar akronim kaledo = Kaki Lembu Donggala. Apakah secara kebetulan saja akronim itu atau tidak? Yang pasti sebutan kaledo telah popular dengan sebutan kaki lembu donggala, selain sebutan masakan khas itu sendiri. Bahan baku paling bagus untuk masakan ini adalah tulang-tulang kaki lembu atau sapi (meskipun dalam perkembangannya semua tulang sapi yang memiliki sisa daging yang menempel dapat dijadikan masakan kaledo). Makan Kaki Lembu Donggala di Palu. Demikian catatan awal saya yang merupakan bagian dari kumpulan tulisan dalam; Mengenal Khazanah Budaya dan Masyarakat Lembah Palu, YKST, 1999.
Penulis ceritakan adanya seorang dermawan yang menyembelih seekor sapi miliknya untuk dibagi-bagikan ke penduduk. Secara kebetulan yang datang lebih awal adalah orang Jawa dan mendapatkan daging yang dijadikan bakso. Orang Makassar menyusul kemudian, sehingga tinggal mendapatkan perut (jeroan) sapi yang akhirnya dijadikan masakan Coto Makassar. Belakangan orang Kaili lebih terlambat, hanya mendapatkan tulang dan kaki sapi. Namun ketika orang Kaili memasak tulang-tulang yang dinamainya kaledo tak kalah lezatnya.
Anekdot itulah yang kemudian dikutip seorang wartawan Harian KOMPAS dalam tulisannya; Menikmati Kaledo Langsung di Pusatnya (2008). Kutipan serupa dilakukan Jafar G. Bua seorang jurnalis Trans TV di Palu dalam sebuah blognya dengan tulisan; Kaledo dan Singkong Rebus (2009). Kutipan demi kutipan kian menyebar di dunia maya, terutama dalam akun facebook.
Berkembangnya usaha kuliner di Kota Palu dalam satu dekade terakhiri, kaledo salah satu menu pavorit. Bahkan sebuah industri mie instan terkenal pernah memproduksi mie rasa Kaledo seperti halnya mie rasa Coto Makassar. Hal itu menunjukkan kaledo diakui sebagai brand yang secara ekonomi sangat menguntungkan bagi pemilik warung. Di satu sisi kaledo menjadi bagian diplomasi budaya yang telah mempengaruhi tata sajian makanan pada warga biasa sampai kalangan pejabat dalam perjamuan resmi.
Menyahuti rasa ingin tahu pembaca tentang kaledo, minimal buku ini bisa memberi pencerahan apresiasi tentang masakan tersebut. Penulis tampilkan pula sebuah fiksi legenda tentang Asal-Mula Kaledo yang berdasarkan imajinasi penulis.
Demikian pengantar penulis pada buku yang diberi judul; Diplomasi Budaya Kaledo dan Kelor. Saran dan masukan pembaca yang lebih baik akan bermanfaat untuk kemajuan penulisan beragam kekayaan kuliner daerah Sulawesi Tengah. Selamat membaca*

FESTIVAL DANAU DAMPELAS TIDAK ADA KEPASTIAN

DONGGALA-Persiapan pelaksanaan Festival Danau Dampelas (FDD) 2011 hingga kini tidak ada kepastian, menyusul belum dilakukannya pembenahan lokasi kegiatan di sekitar Danau Dampelas, Desa Talaga, Kecamatan Damsol. Sebab beberapa kali rencana tersebut kembali ditunda, padahal sebelumnya Kadis Budpar Donggala, Himran Sukara menyatakan FDD akan dilaksanakan pada pertengahan September dari rencana semula Agustus. Disebabkan bertepatan Ramadhan pada bulan Agustus, maka waktunya dijadwalkan pada September.

Namun hingga memasuki bulan Oktober ini sekali lagi tak ada kepastian, sehingga semakin tidak ada kejelasan kegiatan yang teragenda secara baik. Sebuah sumber di Kantor Budpar Donggala sendiri mengakui kalau persiapan FDD tahun ini belum ada kepastian hari pelaksanaannya. Akibat tidak ada kejelasan tersebut, menurut Hapri Ika Poigi seorang akivis seni asal Damsol yang terlibat dalam festival tahun lalu, menyatakan keprihatinan. Sebab tidak adanya agenda yang pasti dalam pelaksanaan event yang terjadwal secara pasti di Donggala, membuat pula tidak adanya penyesuaian dalam jaringan event satu sama lainnya di daerah maupun secara nasional.

“Jangan hanya karena tiba masa tiba akal, kemudian festival dilaksanakan sehingga berdampak pada kualitas yang rendah. Nah, kita sebagai warga Donggala tidak menginginkan kabupaten yang sudah tua ini, tapi event festivalnya tidak jelas dan kurang maksimal hanya karena tidak adanya keseriusan dari pengelola,” kata Hapri Ika Poigi.

Sementara itu juga Camat Damsol M. Arief Panungkul secara terang-terangan menyatakan keprihatinannya. Sebab selama ini tidak ada pembenahan area festival, dan selalu saja mendekati hari kegiatan baru sibuk seperti tahun lalu. “Karena itu sekiranya dilakukan persiapan dengan penganggaran dari Pemkab Donggala dengan membangun panggung kesenian yang permanen. Sebab acara tahun lalu panggungnya hanya darurat dan tidak maksimal,” kata Arief Panungkul.

Bahkan kata Arief kalau memang akan menjadikan FDD sebagai agenda ahunan Kabupaten Donggala, maka arena kegiatan harus betul-betul dilengkapi fasilitasnya. Terutama pemasangan instalasi listrik yang tetap, sebab selama ini setiap ada kegiatan hanya memakai instalasi dari rumah warga dan kurang mencukupi.
Karena itu pula, Hapri Poigi meminta Bupati Donggala lewat Disbudpar agar betul-betul menangani FDD secara professional, sehingga kabupaten yang kaya dengan potensi wisatanya, tapi tidak tertangani dengan baik. Termasuk tidak terkelolanya festival yang pasti dan tetap penjadwalannya dalam kalender event nasional, sehingga bisa terkoneksi dengan jaringan festival daerah lain. (JAMRIN AB)