Oleh: Jamrin Abubakar
SIAPA seniman atau pun kelompok seni di Kota Palu
atau di Sulawesi Tengah umumnya jadi ‘besar’ dan sukses
atas pembinaan lembaga kebudayaan pemerintah?
Silahkan pembaca menjawabnya.
Yang jelas dari pengamatan penulis ada beberapa seniman
dan kelompok seni memilki reputasi dan kredibilitas yang
cukup diperhitungkan di tingkat lokal dan nasional. Tetapi
apakah karena campur tangan lembaga pemerintah dimana di
dalamnya terdapat para pejabat kebudayaan yang selalu
menyusun program dan melakukan kerja birokrasi?
Entahlah kalau saya keliru menilai soal ini. Kalau pun
keliru, berarti kemungkinan para pejabat atau lembaga
kebudayaan itulah yang benar. Soalnya sepengetahuan saya
sebagai penulis, di antara para seniman yang selama ini
eksis berkarya, apakah sastrawan, koreografer/penari,
musisi/komponis/penyanyi, perupa, dramawan dan lainnya,
justru mereka ‘besar’ dan dan eksis bukan karena
keberhasilan lembaga kebudayaan selaku pembina dan
fasilitator.
Lantas kalau begitu apa kerja dan tanggungjawab para
pejabat kebudayaan selama ini? Padahal setiap tahunnya
dana yang dinggarkan untuk kegiatan kesenian-kebudayaan
mencapai ratusan juta, bahkan miliaran rupiah, terutama
bila diakumulasi untuk beberapa event tahunan ditambah
biaya menghadiri festival di Bali, Taman Mini dan
lainnya. Itu belum termasuk untuk keluar negeri.
Dari berbagai persitiwa seni budaya proyek tersebut di
satu sisi memang tidak bisa diukur dengan berapa uang yang
dihabiskan, karena secara sosial kulutural terkandung
nlai-nilai spirit sosial yang menjadi semacam investasi
kebudayaan dimana Sulteng menjadi bagian jaringan kerja
kebudayaan ityu sendiri. Soal ini tak masalah, tapi
bagaimana dengan kesejahteraan para pelaku seni atau
seniman yang terlibat dalam berbagai aktivitas yang selama
ini menjadi lokomotif dalam agenda budaya yang dilahirkan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata/
Kasihan. Seniman yang bukanlah bagian dari birokrasi
suatu lembaga pemerintah, bukan saja insentif atau
kompensasi yang diterimanya kurang pantas ketimbang
anggaran yang tersedia, tetapi terkesan sebagai alat
semata untuk mensukseskan suatu program, walaupun hal ini
tidak semuanya benar.
Bagaimana mereka yang menjadi bagian birokrasi yang tugas
pokoknya memang untuk jadi pelayan/fasilitator yang juga
sudah dapat gaji bulanan sesuai tugasnya?
Kalau seniman diberi kompensasi yang sangat layak dan
sepantasnya karena karyanya sukses ditampilkan dalam
event-event festival ala pemerintah, sangatlah wajar. Lagi
pula dalam mempresentasikan karya-karyanya tidak setiap
saat, sehingga bila bicara secara ekonomis dengan kondisi
apresiasi seni dalam masyarakat kita masih biasa-biasa
saja, maka wajarlah kalau sekali-kali pemerintah memberi
kelayakan seniman, minimal pada setiap penampilan dalam
event tahunan. Hal itu dipandang perlu agar tidak terkesan
seniman hanya jadi alat eksploitasi. Bayangkan kalau
misalnya sesaat menejalang pertunjukan di suatu event di
TMII atas nama pemerintah daerah, tiba-tiba mereka yang
dijadwalkan tampil itu mogok. Apa jadinya? Pasti yang malu
adalah pemerintah daerah juga. Semoga imajinasi demikian
tidak terjadi. Maka hentikanlah eksploitasi seniman.
Di satu sisi seniman haruslah memiliki kredibilitas, karya
yang berkualitas bisa dipertanggungjawabkan pada publik.
Bukan karya asal-asalan, tapi betul-betul hasil dari
ekploirasi yang mencerminkan latar belakang suatu tema
yang diusung.
Beberapa tahun terakhir ini di Sulteng, seniman sebetulnya
makin tertantang dengan adanya beberapa event festival ala
pemerintah. Bukan saja bagaimana seniman menjadikan
festival sebagai moment untuk menunjukkan karya-karya
orisinil, tapi juga pemerintah harus lebih banyak belajar
melihat dan mendengarkan berbagai kritikan terhadap
berbagai kegiatan festival yang digelar guna menjadi bahan
evaluasi.
Sangat ironis suatu event dilaksanakan dari tahun ke
tahun, yang diharapkan grafik kesuksesannya naik namun
malah turun. Seharusnya lebih baik setelah bertambahnya
pengalaman baik dan buruk. Itu pun kalau profesionalisme
dan keterbukaan selalu dikendepankan.
Banyaknya di daerah Sulteng sudah cukup untuk dijadikan
bahan evaluasi sekaligus media pemanfaatan dan pelibatan
seniman secara terbuka.
Kelihatannya seorang seniman yang juga birokrat di
Disbudpar Sulteng, pernah berkeinginan mau mendorong
semangat ‘keterbukaan’ dengan pelibatan seniman secara
interaktif dalam penyusunan program sampai pelibatan di
lapangan. Dia berkeinginan seniman bukan hanya tahu
beraksi di atas panggung pada hari pelaksanaan, melainkan
dilibatkan sejak awal agar lebih banyak tahu dalam proses
di belakang panggung sebagai bagian penanggungjawab.
Beberapa event yang berada di bawah naungan Disbudpar baik
tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, yaitu; Pekan
Budaya Sulawesi Tengah, Festival Danau Poso, Festival
Togian, Festival Teluk Palu, Festival Riak Donggala, Forum
Vula Dongga, dan akan entah apa lagi yang bakal
dimunculkan.
Festival yang dilaksanakan pemerintah tersebut, bukan saja
menjadi ‘impian’ sesuai yang diinginkan penyelenggara
untuk mencapai maksud dan tujuannya, tapi saatnya membawa
harapan bagi seniman daerah. Kehadiran seniman bukan lagi
pelengkap penderita dalam mewujudkan sebuah event. Mereka
adalah bagian dari penanggungjawab karya dan kerja yang
berproses.(wartawan biasa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar