Minggu, 13 Desember 2009

To Kaili: Belajar Bahasa Kaili dengan Orang Amerika

Oleh: Jamrin Abubakar

Kini saatnya orang Kaili belajar bahasa Kaili dengan orang Amerika Serikat. Sebab orang Kaili sendiri sudah banyak yang tak tahu menggunakan bahasanya sendiri.

KEHADIRAN Donna Evans, seorang ahli bahasa (linguis) berkebangsaan Amerika Serikat di Tanah Kaili, Lembah Palu selama beberapa tahun dalam dekade 1990-an, membuahkan maha karya sebuah buku. Buku itu terbilang penting, yaitu Kamus Kaili-Ledo Indonesia Inggris, setebal 544 halaman.

Kamus ini diterbitkan Kantor Dinas kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Tengah tahun 2003 lalu dan dicetak PT. Sehati Prima Sejahtera, Jakarta. Secara fisik kemasan buku ini cukup bagus sebagimana buku standar internasional. Sampulnya berupa gambar Kota Palu dengan teluknya dari udara yang eksotik.

Buku ini penanganan distribusinya kemudian dihibahkan pada Dewan Pembina dan Pengembang Budaya Kaili (DPPBK). Sebab ketika akan diterbitkan dan dicetak, menurut Sofyan Ing Houng saat menjabat Wakil kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulteng ketika itu (2001-2003), penulis kamus Donna Evans mau menyerahkan bukunya bila yang menangani sebuah lembaga swasta.

“Dia tak mau menyerahkan ke lembaga pemerintah, tapi maunya menyerahkan ke lembaga swasta, maka untuk itu digagaslah pembentukan Dewan Pembina dan Pengembang Budaya Kaili,” cerita Sofyan dalam sebuah kesempatan. Donna melihat lembaga swadaya masyarakat atau NGO sebagai mitra yang tepat. Kebetulan SIL yang merupakan lembaga yang berpusat di Amerika Serikat yang diwakilinya, juga lembaga swasta, sehingga memiliki relevansi.

Karena itu, kata Sofyan, yang mantan Kepala Museum Negeri Sulteng, ini maka didoronglah pembentukan DPPBK untuk menjalankan salah satu program pengembangan budaya. Jadi pembentukan lembaga Kaili ini peran Sofyan Ing sangat penting yang digagas bersama sejumlah pemuka-pemuka adat Kaili dari berbagai wilayah administrasi.

Penerbitan kamus karya Donna Evans dibiayai Disbudpar, sehingga kini bisa diakses para pemerhati, peneliti dan peminat bahasa Kaili. Karya ahli bahasa dari SIL, sebuah lembaga bahasa di Amerika ini keberadaannya sangat penting. Ia menyusun selama bertahun-tahun dengan telaten mengumpul dan mencatat secara langsung dalam masyarakat berbagai istilah dalam komunitas Kaili berdialek Ledo. Donna yang pernah mengontrak rumah di Jalan Lasoso, Palu Barat itu dalam menyelami bahasa Kaili Ledo, ia cukup akrab dengan masyarakat di beberapa komunitas penutur sangkal ledo. Tidak heran dalam sebuah percakapan dengan almarhum Masyhuddin Masyhuda, ia sangat salut dan mengakui kalau Donna Evans nyaris lebih fasih berbahasa ledo ketimbang orang ledo asli.

Penulis kamus Kaili yang kemudian juga mengadakan penelitian di Fhilipina, selama berada di Palu, ia banyak akrab dengan beberapa aktivis budaya, termasuk bergaul dengan Hj. Nurhayati Ponulele dan Hanafi Sulaiman. Keduanya ahli bahasa dari FKIP Untad dan beberapa

Peduli budaya Kaili

Sejak terbentuknya DPPBK telah melakukan beberapa program kerja, antara lain; sarasehan tentang pengajaran bahasa Kaili, pelatihan dan pembinaan musik tradisi kakula dan rabana di beberapa kelurahan di wilayah Kota Palu. Hasil dari program tersebut, terungkap betapa kayanya budaya Kaili di tengah publiknya, namun di satu sisi ada kecenderungan terancam punah. Keberadaannya juga nyaris tergilas modernisasi kesenian pop yang kian deras menerpa seni tradisi. Akibatnya musik semacam rabana dan kakula, ibarat khazanah yang nyaris terpendam, sehingga hal ini menjadi salah satu agenda DPPBK melakukan revitalisasi demi bangkirnya kembali salah satu entri kebudayaan Kaili.

Keberadaan budaya Kaili bukan berarti mau menyaingi lembaga budaya lain, semacam dewan kesenian, tapi berharap bisa menyatu dalam kerja sama program. Tidak menutup kemungkinan dewan pembina budaya Kaili menjadi wadah yang lebih menanungi yang lainnya.

“Selain itu, tidak menutup diri bagi orang luar Kaili untuk bergabung. Siapapun bisa menjadi bagian dalam lembaga ini selama mereka memiliki kepedulian dan perhatian untuk memajukan kebudayaan Kaili,” ucap Nurhayati secara terbuka.*

(Penulis Jamrin Abubakar, seorang wartawan biasa)

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar