Selasa, 08 Desember 2009

Mengenang MORA (1968-2007)

Kepergian Jurnalis Sejati

‘Kalau tidak salah tanggal 5 Agustus 2008 almarhum Mohammad Rafik genap satu tahun wafatnya-bagaimana kalau komiu siapkan laporan in memoriam’

Pesan singkat itu saya terima dari Sofyan Arsyad salah seorang sahabat sejati almarhum yang pernah sama-sama menjadi bagian dalam pengelolaan Koran MAL . Kontan saja saya buka file arsip di komputer. Benar sekali, tak terasa kalau Mora, sapaan akrab Mohammad Rafik Yahya (Wakil Pemimpin Redaksi Koran MAL) sekaligus merangkap pemred dua tahun menjelang wafatnya tak terasa sudah setahun kepergiannya. Rafik yang penggemar karya sastra ini meninggal dunia di kediamannya di Jalan Marisa, Palu Barat pada 5 Agustus 2007 dalam usia 39 tahun. Tepat hari ini lewat catatan ini dikenang kembali

Lahir di Palu pada 5 Maret 1968, sebagai pengabdi sejati yang hidupnya diabadikan di media yang dalam perjalanan berkali-kali ‘sekarat’ . Tetapi seorang Rafik yang ditemani beberapa kawan yang masih setia tetap bertahan di tengah kegalauan mengelola MAL agar masih bisa terbit. Padahal sejumlah kawan jurnalis yang mengantarkan namanya cukup dikenal di tengah publik kota Palu ramai-ramai hengkang ke media yang lebih mapan. Mereka pergi dengan alasan sangat logis mengembangkan karier jurnalistik dan agar dapur tetap berasap.

Tetapi sekali lagi Rafik suatu ketika mengatakan tak mau meninggalkan koran yang dianggapnya memiliki peran cukup besar dalam perkembangan persuratkabaran di Kota Palu ketika kondisinya dalam keadaan susah lantas ia tinggalkan. Baginya jangan hanya dalam keadaan senang lantas bertahan dan ketika sudah susah baru ramai-ramai hengkang, menurutnya itu tak setia.

“Justru di saat seperti keadaan yang susah begini, kita mestinya tetap setia memperjuangkan Koran MAL agar bisa bangkit kembali,” ucap Rafik saat-saat MAL tinggal terbita dua kali sebulan.

Bukanya Rafik tidak tahu berbagai persoalan krisis yang dialami secara intern. Tapi dia tak pernah menampakkan kesedihan terutama soal kekurangan modal secara materi yang membuat karyawan sampai beberapa kali gaji karyawan tertunda-tunda, bahkan tidak pasti. Toh, baginya modal yang dimiliki adalah semangat dan kesetiaan membuat dirinya tetap berbesar hati.

“Insya Allah, kita bisa jadi harian. Tunggu saja waktunya karena saat ini sedang diusahakan oleh Habib Saggaf dan Pak Sofyan Bachmid,” ucap Rafik memberi semangat.

Apalagi pada awal tahun 2007 sudah beberapa kali diadakan rapat yang dipimpin Pak Sofyan Bachmid (kini Pemimpin Perusahaan Media Alkhairaat) bersama di antara sedikit jurnalis yang tersisa dengan wajah yang cemas, dan sekali lagi Rafik begitu semangatnya terutama rapat-rapat yang diadakan di lantai tiga Gedung PB Alkhairaat. Bahkan saat kantor MAL pindah di gedung tersebut, ia ikutserta membersihkan lantai dan dinding ruang yang dijadikan kantor. Hanya beberapa kali terbit di tempat redaksi yang sempat dibersihkannya itu, Rafik sudah sakit-sakitan. Pada saat sakit itu pula Koran MAL berhenti terbit.

Apa yang sering diucap dan diobsesikan Rafik itu memang jadi kenyataan. Hanya berselang 10 bulan setelah ia berpualng, benar-benar Koran MAL bangun kembali setelah beberapa bulan tertidur. Surat kabar yang terbit sejak 1971 itu, akhirnya jadi harian dengan nama Media Alkhairaat. Ibu Maslia , ibunda almarhum Rafik selalu meneteskan air mata seraya terisak-isak setiap berjumpa dengan kawan-kawan anaknya yang kini tetap setia bertahan ketika media tempat Rafik menulis selama 18 tahun sudah terbit harian.

Rasa haru bercampur sedih hingga kini masih mewarnai rona wajah mamanya Rafik, sebutan akrab ibunya. Setiap ia berjumpa dengan kawan-kawan dekat yang selalu bersama almarhum di masa Koran MAL pasang-surutnya terbitnya tetap menjadi kenangan. Adalah Arifuddin M. Arief sang asisten Rafik salah satu sahabat karibnya yang banyak menemani Rafik dalam menjalani pengobatan dari sakit yang dideritanya dari soal kue atau makanan kecil kesukaan Rafik, Arif banyak tahu, termasuk soal membelikan obat-obat di apotik, Arif menjadi orang pertama yang melayaninya .

Yang pasti hingga di akhir hayatnya masih menyimpan banyak obsesi terhadap Koran MAL. Tetapi sayang impian-impian dan obesisnya itu tak kuasa ia saksikan, maut begitu cepat merenggut nyawanya atas kehendak Sang Khalik. Ahad, 5 Agustus 2007 si Mora, sebutan kepenyairan Rafik, berpulang ke rahmatullah sekitar pukul 09.00 Wita. Padahal Sabtu sore, 4 Agustus sekitar pukul 16.30 Wita, saya bersama H. Nungci H. Ali dan Ketua SKOP-Serikat Kolumnis Palu Supardi Ibrahim datang menemui Rafik yang dalam keadaan tergolek, berselimut sarung menutupi tubuhnya yang ringkih, tinggal kulit membalut tulang.

Di saat itu Koran MAL yang dinahkodainya tak luput dari keluhannya, padahal tinggal beberapa jam lagi ajalnya tiba masih sempat memikirkan terbitnya media yang kini jadi sudah jadi harian. Bahkan menurut ibunya, beberapa kali ia menangis, meneteskan air mata memikirkan koran tersebut yang dikuatirkan jangan sampai tak terbit lagi.

Menenang Rafik bukan saja mengingat seorang sahabat sejati, tapi sekaligus mengenang seorang jurnalis yang santun plus penyair yang lembut sebagai kesan yang menarik di simak. Di publik seni Kota Palu, Rafik memang dikenal sebagai salah satu penyair yang karya-karyanya pernah dipublikasikan di sebuah antologi puisi terbitan Dewan Kesenian Palu dan beberapa kali tampil membacakan puisi di berbagai forum sastra di Kota Palu. Bahkan sejumlah acara temu sastra nasional banyak yang dihadirinya.

Rafik adalah pengenal dan penyapa, supel dalam pergaulan namun orangnya pemalu merupakan kesan yang tak terlupakan. Karena itu ketika kabar duka itu menyebar saat itu, ribuan pelayat mengantarkan jenazahnya. Maklum, banyak yang tersentak kaget mendengar kabar duka kala itu.

Rupanya sakitnya Rafik selama empat bulan tak begitu tersiar. Apalagi diketahui, tiga bulan sebelum ajalnya tiba, ia melangsungkan pernikahan dengan seorang gadis pilihannya, Zaenab. Padahal saat berlangsungnya pernikahan itu, sebetulnya dia sudah mulai sakit, namun masih memiliki daya “perlawanan” terhadap sakit lever yang menggerogoti raganya.

Hal itu tak banyak yang tahu, kecuali keluarga dan sahabat dekatnya. Bahkan hanya beberapa jam menjelang pernikahan, ia masih sempat mendapat perawatan dari dokter, sebab pernikhannya, 7 Mei 2007 sulit ditunda, menyusul undangan sudah beredar. Ketika itu, raganyanya memang sudah ringkih, berjalan tertatih-tatih dan dipapah menuju ke pelaminan. Tapi semangatnya tetap bergelora menghadapi sunatuulah.

Sakit berkepanjangan. Raganyanya tak lagi berdaya, walaupun segala daya dan upaya “perlawanan” dilakukan demi menunda maut yang selalu menghadang. Tapi, toh sekali lagi, hidup hanyalah menunda kematian. Tak terkecuali Mora, telah menyerah pada maut. Karena Allah telah megambilnya kembali. Selamat jalan sang jurnalis sejati, penyair yang lembut dan sahabat yang santun.

Hingga kini saya masih sering mendapat pertanyaan dari beberapa orang yang tak sempat mengetahui meninggalnya Rafik dengan mengatakan bagaimana keadaannya Pak Rafik sekarang? Dia telah berpulang setahun lalu. Yang bertanya serentak kaget, seraya mengucapkan Innalillahi wa inna ilahi rojiun.

(JAMRIN ABUBAKAR) pernah dipublikasikan Media Alkhairaat, 5 Agustus 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar